MEDAN, KOMPAS — Penurunan harga gas di Sumatera Utara belum sampai pada tingkat yang kompetitif. Ini membuat Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei di Simalungun sulit dijual. Baru 27 hektar kawasan yang terjual dari total 1.933 hektar. Banyak investor tertarik, tetapi urung setelah mengetahui harga gas.
”Harga gas yang tinggi membuat Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei tidak kompetitif dibanding kawasan lain. Baru satu pabrik yang beroperasi di kawasan ini, yakni PT Unilever Oleochemical Indonesia,” kata Direktur PT Kawasan Industri Nusantara (Kindra) Rinaldi dalam diskusi bertajuk ”Kebutuhan Gas dan Peluang Penyediaan Gas Impor untuk Wilayah Sumatera Bagian Utara”, di Medan, Kamis (20/7). PT Kindra adalah anak PT Perkebunan Nusantara III yang menjadi badan pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei.
Rinaldi mengatakan, harga gas di KEK Sei Mangkei turun dari 12,76 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) menjadi 10,75 dollar AS terhitung sejak Februari. Akan tetapi, harga gas itu masih lebih tinggi dibandingkan harga di Jawa yang hanya 8-9 dollar AS per MMBTU. Di Malaysia harganya bahkan hanya 6,6 dollar AS per MMBTU. Ini membuat industri di Sei Mangkei kalah bersaing dengan industri negara tetangga.
Bahan bakar yang digunakan pabrik PT Unilever sebagian besar adalah solar karena harga gas yang masih tinggi. Dengan menggunakan solar, biaya produksi oleochemical di pabrik itu 225 dollar AS per ton. Jika menggunakan gas seharga 10,75 dollar AS per MMBTU, biaya produksi itu dapat ditekan menjadi 190 dollar AS per ton. Namun, itu masih sangat tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang dapat memproduksi oleochemical dengan biaya 125 dollar AS per ton.
”Bagaimana kita bersaing di pasar dunia jika biaya produksi sangat tinggi. Kami berharap harga gas di KEK Sei Mangkei bisa diturunkan menjadi 7-8 dollar AS per MMBTU,” ujar Rinaldi.
Ia melanjutkan, dalam beberapa tahun belakangan, pihaknya gencar mempromosikan KEK Sei Mangkei ke sejumlah negara, terutama China. Calon investor tertarik karena kawasan itu berada di pusat bahan baku, yakni perkebunan sawit dan karet.
Infrastruktur kawasan juga cukup baik, yakni jalan tol yang sedang dibangun, rel kereta api, dan Pelabuhan Kuala Tanjung. Pelabuhan itu strategis karena dekat dengan Singapura dan Malaysia yang merupakan pusat perdagangan produk sawit dan karet. Namun, ketertarikan itu berakhir ketika mengetahui harga gas yang tinggi.
Kepala Urusan Administrasi dan Keuangan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Supriyono mengatakan, penurunan harga gas masih mungkin dengan mengurangi bagian pemerintah di industri hulu gas dan menekan tarif toll fee (tarif pipa gas). Namun, pemerintah masih memerlukan kajian ekonomi dan dasar hukum.
Kepala Grup Strategi Perencanaan Perusahaan Gas Negara mengatakan, pada prinsipnya pihaknya ingin menjual gas dengan harga yang kompetitif. Namun, harga gas di Sumut masih tinggi, antara lain, karena tarif toll fee dari regasifikasi di Arun, Aceh Utara, hingga Medan. Selain karena panjang pipa sekitar 350 kilometer, tarif toll fee tinggi karena volume yang dialirkan masih rendah daripada kapasitasnya. Selain itu, periode penyusutan pipa gas juga dihitung hanya 15 tahun.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pengguna Gas Sumatera Utara Johan Brien mengatakan, penurunan harga gas seharusnya bisa dilakukan jika ada keinginan politik dari pemerintah. Jika periode penyusutan pipa diperpanjang menjadi 50 tahun, tarif toll fee Arun-Belawan yang saat ini sekitar 1,88 dollar AS per MMBTU masih bisa ditekan.
Johan menuturkan, pabrik sarung tangan di Sumut saat ini beralih menggunakan bahan bakar cangkang sawit atau kemiri karena harganya hanya setengah dari harga gas. Padahal, penggunaan cangkang sebenarnya tidak ramah lingkungan.
Direktur Keuangan, SDM, dan Umum PT Kawasan Industri Medan Daly Mulyana menyebutkan, penurunan harga gas di Medan belum cukup menggairahkan industri, terutama industri berskala kecil.