SEMARANG, KOMPAS — Diskriminasi dalam pemilihan umum kerap dialami penyandang disabilitas di Jawa Tengah. Bentuk diskriminasi tersebut antara lain kehilangan hak pilih, tempat pemungutan suara sulit diakses, dan tidak dilibatkan sebagai panitia penyelenggara.
Hal tersebut mengemuka dalam Pelatihan Panduan Pemberitaan untuk Pemilu Akses bagi Jurnalis, di Semarang, Sabtu (22/7). Acara itu juga dihadiri perwakilan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng, organisasi masyarakat, dan penyandang disabilitas.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan, hingga saat ini penyelenggaraan pemilu masih mengesampingkan hak penyandang disabilitas. Mereka tidak hanya kehilangan hak pilih, tetapi juga hak sebagai penyelenggara pemilu. Diskriminasi umumnya terjadi di tingkat kota/kabupaten.
”Cara pandang terhadap disabilitas masih salah sehingga praktiknya pun salah,” ujar Sunanto.
Pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam pemilu tak hanya terkait fasilitas, tetapi juga mencakup informasi pemilu, kelayakan tempat pemungutan suara, dan pembaruan daftar pemilih tetap (DPT). Menurut Sunanto, upaya pemenuhan kebutuhan hak penyandang disabilitas saat pemilu jadi tantangan besar yang harus dipecahkan.
Komisioner KPU Provinsi Jateng, Diana Arianti, mengatakan, penyelenggaraan pemilu bagi penyandang disabilitas kerap terkendala beberapa hal, seperti DPT tidak lengkap dan ketiadaan organisasi penyandang disabilitas di setiap kota/kabupaten Jateng. Bahkan, keluarga sering kali melarang anggota keluarga penyandang disabilitas untuk didaftarkan sebagai pemilih.
Meski demikian, lanjut Diana, KPU Jateng terus berbenah. Salah satunya, melibatkan penyandang disabilitas sebagai penyelenggara Pemilu 2004, yakni di Purworejo dan Cilacap. Pemilu serentak tahun 2019 akan diselenggarakan di tujuh kota/kabupaten Jateng. ”KPU Jateng akan memprioritaskan hak politik setiap warga, termasuk penyandang disabilitas,” ucap Diana.
Penasihat Hak Penyandang Disabilitas Jaringan Pemilihan Umum Akses Disabilitas (Agenda), Tolhas Damanik, menambahkan, pendekatan bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih berdasarkan kondisi kesehatan (medical model) dan obyek belas kasihan (charity model). Padahal, penyandang disabilitas membutuhkan pendekatan sosial dan pemenuhan hak.