BALIKPAPAN, KOMPAS — Berkurangnya hamparan bakau di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, seiring pengembangan industri semakin mengurangi populasi bekantan. Diperkirakan, kini hanya tersisa 100 kelompok bekantan sehingga bekantan makin sulit dijumpai.
”Itu perkiraan jumlah kelompok bekantan di teluk dua tahun lalu. Ada 10-20 bekantan dalam satu kelompok atau grup,” ujar Amir Ma’ruf, peneliti satwa liar dari Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (24/7).
Dengan perkiraan tersebut, berarti ada 1.000-2.000 bekantan di habitatnya di hamparan bakau di kawasan Teluk Balikpapan. Diperkirakan jumlahnya sudah menyusut seiring pembukaan lahan bakau untuk kepentingan Kawasan Industri Kariangau (KIK) Balikpapan.
Pemerhati primata asal Ceko, Stanislav Lhota, pernah menyebut, terdapat 1.400 bekantan di Teluk Balikpapan pada tahun 2012. Jumlah tersebut sekitar 5 persen dari keseluruhan populasi bekantan di dunia.
Belum ada penelitian mengenai perkiraan populasi bekantan sebelum geliat industri dipacu di teluk. Namun, Amir yakin populasi bekantan jauh lebih banyak pada tahun 2000-an.
Bekantan (Nasalis larvatus), yang sering disebut ”monyet Belanda” karena hidungnya besar dan rambutnya kemerahan, adalah satwa endemis Kalimantan. Mereka sangat bergantung pada bakau sebagai tempat hidup dan sumber pakan. Karakternya berbeda dibandingkan dengan orangutan.
”Orangutan bisa masuk permukiman atau kebun warga, juga kebun sawit, untuk cari makan. Bisa beradaptasi dengan makanan manusia. Namun, bekantan tidak bisa. Jika terdesak atau bakau dibabat, mereka menyingkir. Jika bakau habis, habislah bekantan,” kata Amir.
Semakin terancamnya bekantan juga disampaikan Tadeas Toulec, mahasiswa Czech University of Life Science. Toulec meneliti bekantan di Teluk Balikpapan di wilayah Balikpapan selama dua bulan (18 Mei-20 Juli) untuk tesisnya bersama Alexander Kurniawan, mahasiswa S-2 Biosains Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Mereka menemukan 80 grup bekantan di sepanjang pesisir, KIK, dan Somber. Ada 8-26 bekantan dalam satu grup. Geliat industri, termasuk pembangunan jembatan, berikut akses jalannya, sudah memutus koridor satwa. Tinggal satu koridor bakau yang belum terputus, yakni antara hulu Sungai Baruangin dan Sungai Tempadung.
”Beberapa kawasan yang kami perkirakan cukup banyak bekantan ternyata tak sesuai harapan. Di kawasan Sungai Puda, misalnya, hanya terlihat 2-3 grup. Sementara di Sungai Kemantis malah hanya satu ekor yang kami lihat selama dua bulan,” ujar Toulec.
Koordinator Forum Peduli Teluk Balikpapan, Husein, memperkirakan dari 70.000 hektar hamparan bakau di teluk sekitar 15 persennya sudah dibabat. Pembabatan bakau terutama terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
”Setelah KIK, di seberang teluk (Kabupaten Penajam Paser Utara), segera berdiri Kawasan Industri Buluminung (KIB). Bakau primer dan bekantan semakin terancam dan sepertinya tidak ada yang memikirkan,” ujar Agus Bei, Ketua Mangrove Center Balikpapan.