Dialog dan Penguatan Komunitas Dapat Menjaga Keharmonisan Hidup Bersama
Oleh
MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Dialog dan penguatan komunitas menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan hidup bersama di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Gempuran ideologi asing juga perlu diwaspadai karena dapat mengganggu kedamaian serta merongrong Pancasila.
Hal itu mengemuka pada Seminar Pancasila Bergerak dengan tema ”Peran Ideologi Pancasila sebagai Perekat dalam Kehidupan Komunitas” yang digelar Pusat Kajian Ideologi Pancasila yang bekerja sama dengan Direktorat Organisasi dan Kemasyarakatan, Ditjen Politik, dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri, Senin (24/7), di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Hadir sebagai narasumber adalah Ketua Umum Pusat Kajian Ideologi Pancasila Ashoka Siahaan dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Banyumas KH Mohammad Roqib.
Ashoka menyampaikan, solusi untuk menyelesaikan konflik di masyarakat adalah dengan berdialog satu sama lain. Kehidupan bermasyarakat yang majemuk juga bisa terjaga dengan dialog penuh keterbukaan, misalnya antara mereka yang minoritas dan mayoritas atau sebaliknya.
”Minoritas harus ada timbal balik dengan yang lain. Ada dialog dan bergaul, terbuka, dan tidak eksklusif,” katanya.
Menurut Roqib, konflik di komunitas beragama kadang kala muncul karena tiap pihak mengeklaim kebenaran.
”Ada klaim bahwa diri dan kelompoknya yang paling benar sehingga penglihatan terhadap orang lain dari luar dirinya itu tidak sejajar atau dianggap remeh,” tuturnya.
Roqib juga menegaskan hal yang sama, yakni dengan dialog tercipta perjumpaan yang saling terbuka serta melahirkan saling pengertian satu sama lain.
”Intinya dialog. Persoalan yang ada di masyarakat bisa diselesaikan dengan dialog. Bagaimana caranya agar mengajak mereka yang bertikai itu mau berdialog, ini punya seni tersendiri. Tidak bisa tiba-tiba,” papar Roqib.
Pancasila sebagai dasar negara, kata Roqib, merupakan satu kesimpulan paling akhir, final, dan menyentuh semua kepentingan warga negara yang hidup dari Sabang sampai Merauke.
”Pancasila itu kesepakatan dan didukung bersama-sama. Kalau mengingkari kesepakatan dan menarik dukungan, disebut pemberontak,” tuturnya.
Ashoka menyampaikan, konflik juga dapat terjadi akibat adanya kerakusan seseorang atau kelompok yang kemudian menjajah atau mengganggu hak hidup orang lain. Untuk itu, diperlukan adanya penguatan komunitas yang dapat menjaga kelancaran ekonomi, misalnya dengan membangkitkan koperasi.
Ancaman dari luar yang dapat menimbulkan konflik serta mengganggu Pancasila, kata Ashoka, di antaranya adalah paham neoliberalisme, postmodernisme, fundamentalisme, dan neofeodalisme.
”Bahaya yang dihadapi komunitas dalam hal ini mengancam Pancasila antara lain neoliberalisme di dalam lembaga-lembaga penentu kebijakan nasional yang memompa hasrat konsumtif masyarakat, bukan produktif; postmodernisme di dunia pendidikan yang mengarah pada partikularisme antikesatuan; fundamentalisme di tingkat kehidupan rakyat yang mengarah pada antitoleransi; dan neofoedalisme di semua lapisan yang selalu mempertahankan status quo,” ujarnya.
Bupati Banyumas Achmad Husein yang hadir untuk memberikan sambutan menyampaikan, Pancasila sebagai ideologi negara tidak cukup hanya untuk dihafal dan diucapkan, tetapi juga perlu dipahami hakikatnya dan kemudian diamalkan sepenuh hati di kehidupan sehari-hari.
”Hakikat sebetulnya adalah rasa persaudaraan bahwa kita sama-sama saudara, sama-sama cinta Tuhan, dan ditakdirkan hidup bersama di atas bumi ini. Pancasila kalau hanya diucapkan dan dihafalkan, maka kita hanya akan jadi penghafal. Oleh karena itu, kita perlu memahami hakikatnya,” kata Husein.