SURABAYA, KOMPAS – Aparat Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, menangkap AJP (33), tukang kebun sebuah sekolah menengah pertama swasta di Surabaya. Tersangka ditangkap setelah mencabuli M (13) siswi kelas VIII di sekolah tempatnya bekerja. Korban kini hamil tujuh bulan dan putus sekolah.
Wakil Kepala Polres Pelabuhan Tanjung Perak Komisaris Arief Kristanto, Senin (24/7), di Surabaya, mengatakan, pengungkapan kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur itu berawal dari laporan orangtua korban pada Selasa (4/7) yang tidak terima anaknya tengah hamil tujuh bulan. Polisi kemudian memeriksa sejumlah saksi, di antaranya ayah, ibu, dan paman korban serta kepala sekolah dan satpam tempat korban bersekolah.
Arief menuturkan, tersangka mencabuli korban sejak Desember 2016. Perbuatan itu dilakukan selama tiga kali sebelum akhirnya korban diketahui hamil. Pencabulan tersebut dilakukan saat korban sedang menunggu jemputan ayahnya sepulang sekolah. Melihat keadaan yang sepi, tersangka mecabuli korban di gudang sekolah. ”Tersangka merayu korban bahwa jika hamil akan dinikahi,” katanya.
AJP mengatakan, perbuatan itu dilakukan karena suka sama suka. Pria yang telah menjadi tukang kebun selama dua tahun itu mengaku berpacaran dengan korban selama setahun. ”Tidak ada paksaan ketika berhubungan badan,” ujarnya.
Atas perbuatan tersangka, dia dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 81 dan Pasal 82 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara. Barang bukti yang turut diamankan yakni seragam sekolah dan celana dalam milik korban.
Direktur Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Edward Dewaruci mengatakan, perbuatan cabul yang dilakukan oknum pegawai sekolah bisa membuat kekhawatiran orangtua murid. Sekolah bisa menjadi tempat tidak aman karena dihuni para paedofil yang bisa mengancam keselamatan anak-anaknya. Padahal, Surabaya menjadi salah satu kota yang tengah berusaha menjadi kota layak anak.
Oleh sebab itu, dia mendorong agar Pemerintah Kota Surabaya mewajibkan adanya seleksi ketat, seperti tes psikotes kepada pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan anak di sekolah. Hal itu dilakukan untuk memastikan tidak ada yang mengalami gangguan kejiwaan dan dapat berdampak buruk pada siswa.
Sekolah, lanjut Edward, harus mengawasi pegawai dan murid-muridnya selama masih berada di lingkungan sekolah. Jika ada peristiwa yang terjadi kepada siswa, sekolah harus ikut bertanggung jawab agar kejadian serupa tidak terulang. ”Pemkot Surabaya dan kepolisan perlu memetakan lokasi rawan kejahatan anak agar orangtua bisa mengantisipasi,” katanya.
Terkait korban yang putus sekolah, hal itu sangat disayangkan. Sebab, korban masih memiliki masa depan untuk menyelesaikan pendidikannya. Pemerintah perlu merehabilitasi korban agar mau kembali bersekolah dan menyelesaikan pendidikan tingkat dasar yang sudah dijalani selama delapan tahun. ”Kasus-kasus seperti ini justru membuat upaya Pemkot Surabaya memberikan pendidikan gratis jadi tidak maksimal karena ada hal yang tetap membuat siswa putus sekolah,” ujar Edward.