logo Kompas.id
NusantaraPengungsi Kesulitan Air Bersih
Iklan

Pengungsi Kesulitan Air Bersih

Oleh
· 3 menit baca

KABANJAHE, KOMPAS — Pengungsi akibat letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, krisis air bersih. Sebulan terakhir, pengungsi tidak mendapat air bersih yang biasanya dipasok dengan truk tangki. Jatah lauk-pauk pengungsi juga berkurang. Penyebabnya, dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana tersendat. Krisis air bersih antara lain terjadi di pos pengungsian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) di Desa Ndokum Siroga, Kecamatan Simpang Empat, yang dihuni 160 keluarga (570 orang). Kebutuhan air bersih hanya mereka dapat dari satu keran sumur bor milik GPDI yang dihidupkan empat kali sehari selama setengah jam. Air itu hanya cukup untuk keperluan minum dan memasak. Pengungsi kesulitan memenuhi kebutuhan mandi, cuci, dan kakus. Koordinator Pos Pengungsian GPDI Asni Beru Sitepu (45), Sabtu (5/8), mengatakan, krisis air bersih terjadi sebulan terakhir. Truk tangki yang biasa mengantar air bersih dua kali sehari tidak datang lagi. Mesin sumur bor di pos pengungsi juga rusak. Pengungsi hanya mengandalkan air dari sumur bor GPDI. Untuk menyiasati krisis air, pengungsi mengumpulkan pakaian kotor sekeluarga sebelum mandi. Mereka meletakkan kain kotor di lantai kamar mandi. Guyuran air mandi digunakan untuk membasahi kain kotor. "Lalu kami menyabun dan menyikat kain seadanya sebelum diguyur lagi dengan air mandi. Terkadang, meski kain masih berbusa, kami jemur," kata Asni.Ia menuturkan, krisis air bersih membuat sebagian besar anak tidak mandi sebelum ke sekolah. Anak-anak bangun sejak pukul 05.00 untuk berebut air. Namun, hanya sebagian kecil yang kebagian air karena mesin hidup hanya sekitar 30 menit. Sebagian besar anak hanya bisa mencuci muka. Jatah hidup berkurangSelain krisis air, jatah lauk-pauk pengungsi juga mulai dikurangi. Pengungsi biasanya mendapat 120 kilogram ikan dalam 2 hari kini hanya sekitar 80 kg. Agar semua pengungsi kebagian, ikan dipotong kecil-kecil. "Satu ikan dencis ukuran sedang kami potong delapan," kata Dahlia Sitepu (56), pengungsi.Dahlia mengatakan, mereka tidak bergantung sepenuhnya pada bantuan pemerintah. Pengungsi menjadi buruh tani dengan upah Rp 70.000 per hari agar dapat memenuhi kebutuhan sekolah dan menambah lauk-pauk keluarga. Sebagian pengungsi nekat berladang di zona merah.Kepala Bidang Logistik dan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karo Natanael Peranginangin mengatakan, jatah logistik pengungsi dikurangi dalam beberapa bulan terakhir. Pemerintah Kabupaten Karo kesulitan karena biaya penanganan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum cair sejak Februari. Beberapa hari ke depan, kata Natanael, penanganan pengungsi akan normal karena mereka telah mendapat dana Rp 2 miliar dari BNPB untuk penanganan bencana periode Februari-Mei. Selain untuk jatah hidup pengungsi, dana akan digunakan untuk menjaga zona merah dan membayar bus sekolah anak-anak pengungsi. Natanael mengatakan, saat ini tercatat 2.038 keluarga yang terdiri atas 7.214 orang tinggal di delapan pos pengungsian. Yang tinggal di tenda pengungsian 2.863 orang. Sebanyak 370 keluarga akan dipindah ke hunian sementara pada akhir Agustus. Ada 1.682 keluarga direlokasi ke rumah sewa yang dibiayai pemerintah. (NSA)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000