Disita, 12 Satwa Liar dari Pedagang Satwa di Bantul
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
WATES, KOMPAS — Sosialisasi informasi terkait jenis-jenis satwa dengan status dilindungi belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Celah ini dimanfaatkan jaringan perburuan dan perdagangan satwa lintas provinsi dalam melakukan transaksi perdagangan satwa liar.
Kepala Seksi Wilayah II Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Sidonius Tri Saksono mengatakan, jaringan perdagangan satwa liar kerap mengirimkan satwa ke pembeli menggunakan jasa pengiriman barang.
”Maraknya perdagangan satwa liar dipicu ketidaktahuan perusahaan jasa pengiriman terhadap jenis ataupun kategori satwa yang dikirim menggunakan jasa mereka,” ujarnya di Wildlife Rescue Center (WRC) Kulon Progo, DI Yogyakarta, Senin (7/8/2017).
Yang terbaru pada Jumat (4/8) lalu, petugas gabungan dari Kepolisian Daerah DI Yogyakarta dan Balai Gakkum KLHK menangkap seorang pedagang satwa liar, W (33), warga Kecamatan Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta. W mendapatkan satwa liar dari jaringan perdagangan satwa lintas provinsi.
Dari hasil penggeledahan di rumah W, petugas menemukan 12 ekor satwa liar hidup dan 1 lembar kulit kancil. Ke-12 satwa liar tersebut adalah 5 ekor kucing hutan (Felis bengelensis), 2 ekor jelarang (Ratufa bicolor), seekor trenggiling (Manis javanica), seekor binturung (Arctictis binturong), seekor alap-alap cokelat (Falco berigora), seekor landak (Hystrix brachyuran), dan seekor garangan jawa (Hepertes javanicus).
Satwa-satwa tersebut kini dititipkan di WRC Kulon Progo yang dikelola Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta. Manajer Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta Randy Kusuma mengatakan, dua ekor kucing hutan mati karena dehidrasi akut sejak tiba di penangkaran.
Penggerebekan terhadap W dilakukan atas informasi dari lembaga pemerhati satwa yang melaporkan kegiatan perdagangan satwa liar yang dilakukan W secara daring. Pembeli cukup mentransfer uang ke rekening milik W, kemudian satwa akan dikirimkan melalui jasa pengiriman barang.
”W mendapatkan pasokan satwa dari jaringan perdagangan satwa lintas provinsi lewat jasa ekspedisi jalur darat,” ujar Tri.
Berdasarkan hasil penyidikan, W menjual satwa ke sejumlah pembeli yang ada di wilayah DI Yogyakarta dan sekitarnya. Pelaku diduga melanggar Pasal 21 Ayat 2 Huruf a dan Huruf b juncto Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang No 5/1990 juncto Peraturan Pemerintah No 7/1999. Ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Modus lama
Modus perdagangan satwa seperti ini, lanjut Tri, sudah menjadi tren selama lima tahun terakhir. Diberitakan sebelumnya, perdagangan ilegal satwa liar naik empat kali sejak 2010 senilai Rp 13 triliun per tahun. Wildlife Crime Unit, lembaga antikriminalitas perdagangan satwa liar yang dibentuk WCS-IP, mencatat, pada tahun 2016 ada 91 operasi penangkapan dengan 89 pelaku (Kompas, 8/3).
Sementara pada tahun 2017, di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara telah dilakukan 16 operasi penangkapan dengan 17 pelaku. ”Jalur ekspedisi ini harus diperkuat. Perusahaan jasa pengiriman barang harus lebih selektif untuk memutus rantai perdagangan satwa liar,” ujar Tri.
Di tempat yang sama, Koordinator Polisi Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta Purwanto mengatakan, pengiriman hewan melalui jalur darat lebih sulit terpantau dibandingkan jalur udara.
”Pengiriman satwa lewat jalur udara setiap bandara lebih terawasi karena ada balai karantina yang bekerja sama dengan BKSDA. Namun, untuk jalur darat, jalur yang digunakan penyedia jasa pengiriman banyak sekali sehingga sulit dipantau,” ujar Purwanto.
Meski demikian, pihak BKSDA Yogyakarta akan meningkatkan pantauan dan bekerja sama dengan sejumlah perusahaan jasa ekspedisi jalur darat, antara lain dengan PT Kereta Api Indonesia.