Lensa Observatorium Kupang Enam Kali Lipat Lebih Besar
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Observatorium baru yang tengah dibangun di Gunung Timau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, direncanakan menggunakan lensa berukuran enam kali lebih besar dibandingkan lensa Observatorium Bosscha di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dengan lensa lebih besar, observatorium yang direncanakan beroperasi tahun 2020 itu diyakini mampu membantu peneliti melihat lebih banyak benda-benda langit.
Kepala Pusat Sains Antariksa di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Clara Yatini di Bandung, Minggu (7/8/2017) malam, mengatakan, Observatorium Kupang akan menggunakan lensa berdiameter 3,8 meter. Ukuran ini jauh lebih besar ketimbang lensa Observatorium Bosscha yang berdiameter 60 sentimeter.
”Kami akan memasang 18 potong lensa majemuk yang disusun sehingga membentuk lensa dengan total diamater 3,8 meter. Dengan lensa lebih besar, peneliti mampu melihat banyak benda langit yang cahaya redup,” ujarnya.
Saat ini, kata Clara, obyek teredup yang bisa diamati menggunakan lensa di Boscha hanya bermagnitudo cahaya 15-18. Makin besar magnitudonya berarti makin redup cahaya benda langit itu. Dia berharap, saat semakin banyak benda langit yang bisa dilihat, peneliti bisa mengamati konstelasi perbintangan di langit Indonesia dengan lebih ideal.
Tidak hanya itu, penggunaan lensa lebih besar juga akan mengangkat nama Indonesia di mata dunia. Penggunaan lensa berdiameter 3,8 meter itu akan menyejajarkan Indonesia dengan Jepang yang mempunyai lensa berdiameter sama. Jurang penelitian benda langit antara Indonesia dengan India juga tak akan terlampau jauh. Saat ini, India memiliki observatorium dengan diameter lensa hingga 4 meter.
”Dengan lensa yang lebih besar, keunggulan Indonesia di dunia astronomi akan lebih maksimal. Dengan letak Indonesia yang berada di garis ekuator dunia, observatorium di Indonesia bisa mengamati langit ke arah utara maupun selatan,” katanya.
Polusi cahaya
Pemilihan Gunung Timau di Kabupaten Kupang, kata Clara, juga bukan tanpa alasan. Daerah itu masih minim polusi cahaya dan memiliki catatan cuaca cerah paling baik di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika selama 50 tahun terakhir, Kupang adalah daerah yang paling sering cerah cuacanya. Di sana cuaca cerah mencapai 70 persen dalam setahun.
”Lokasi observatorium itu berada di ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut dan dikelilingi alam yang masih alami. Artinya, belum banyak polusi cahaya yang ditimbulkan dari cahaya kota seperti Bandung. Saat langit lebih gelap, banyak hal yang bisa dilihat dan diteliti,” katanya.
Upaya mengajak warga untuk mengurangi polusi cahaya itu juga dilakukan Lapan dalam acara bertajuk ”Malam Langit Gelap” di Gedung Sate, Kota Bandung, Minggu malam. Warga diajak mematikan lampu selama 1 jam sejak pukul 20.00. Kegiatan itu dilaksanakan dalam rangka merayakan Hari Antariksa Nasional yang jatuh setiap 6 Agustus.
Iis Rokayah (34), salah satu pengunjung, datang dari Bogor untuk mengamati planet Yupiter dan Saturnus. ”Kami tidak punya teropong, di sini Lapan pinjamkan teropong gratis, jadi bisa kami pakai,” ujar Iis, yang datang bersama suami dan dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Ia mengatakan, setelah datang ke acara itu, dirinya jadi terdorong untuk mematikan lampu ketika sudah tidak lagi digunakan. ”Ternyata kalau kota itu terlalu terang, kita jadi sulit melihat bintang di langit. Mematikan lampu juga efektif untuk menghemat listrik,” katanya.