BANDUNG, KOMPAS- Indonesia kekurangan seismometer, alat pendeteksi dan pengukur getaran gempa bumi. Padahal, keberadaan alat itu sangat vital untuk mempercepat evakuasi korban saat bencana terjadi.
Wakil Kepala Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano di Bandung, Rabu (9/8), mengungkapkan, jumlah seismometer di Indonesia hanya sekitar 500 unit. Padahal, idealnya Indonesia memiliki setidaknya 2.000 unit seismometer. “Semakin banyak seismometer terpasang, semakin bagus. Karena kita makin mudah mendeteksi berbagai pergerakan seismik. Penanganan dan evakuasi bencana juga menjadi lebih cepat dilakukan,” ujar Irwan, Rabu ini.
Sebagai perbandingan, Jepang dengan luas sekitar 377 ribu kilometer persegi, atau enam kali lebih kecil dari Indonesia yang memiliki luas 1,9 juta kilometer persegi, memiliki lebih dari 4.000 unit seismometer. Artinya, satu seismometer bisa mendeteksi tiap 94,25 kilometer persegi. Kondisi itu tak terjadi di Indonesia. Satu seismometer harus mengawasi kawasan seluas 3.800 kilometer persegi.
“Jepang sadar betul hidup di tengah bencana. Dengan jumlah seismometer sebanyak itu, pergerakan seismik sekecil apapun bisa terdeteksi dengan baik. Alat itu membantu proses penangangan dan evakuasi saat bencana bisa lebih cepat,” katanya.
Ia berharap, pemerintah segera menambah jumlah seismometer. Prioritas penambahan alat itu bisa dilakukan untuk daerah rawan bencana berpenduduk padat seperti wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat.
Manfaatkan waktu
Ia mengatakan, kecepatan untuk mendeteksi getaran atau pergerakan seismik jadi kunci penanganan bencana yang ideal. Semakin cepat terdeteksi, masyarakat bisa mempersiapkan diri menghadapi dampak yang akan terjadi.
Ia mencontohkan keberadaan fenomena body wave dan surface wave saat gempa bumi. Body Wave adalah getaran pertama saat gempa dan biasanya tidak merusak sedangkan surface wave, kata Irwan, adalah getaran lanjutan yang berpotensi merusak. "Selisih waktu datangnya body wave dan surface wave, antara beberapa detik hingga beberapa menit itulah yang harus dimanfaatkan untuk evakuasi warga di daerah terdampak," katanya.
Hal serupa juga terjadi saat tsunami datang mengancam. Ia menjelaskan kecepatan gelombang seismik yang menyebabkan tsunami itu antara 3-5 kilometer per detik. Sedangkan, gelombang tsunami memiliki kecepatan 200-400 kilometer per jam. “Artinya gelombang seismik hanya membutuhkan waktu 40 detik untuk mencapai jarak 200 kilometer, sedangkan tsunami perlu waktu satu jam. Pengetahuan tentang selisih waktu ini sangat penting untuk menekan korban jiwa” ujar Irwan.
Wakil Dekan bidang Akademik Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Imam Sadisun mengatakan, berbagai bencana pergerakan bumi sebetulnya tidak membunuh atau membahayakan. “Menjadi berbahaya karena gempa itu menghancurkan objek buatan manusia yang bisa merenggut nyawa manusia. Artinya kita harus hidup selaras dengan alam untuk mencegah hal itu terjadi,” ujar Imam.