CIREBON, KOMPAS — Kebijakan pemerintah untuk mengimpor garam tidak menguntungkan bagi petani di di Jawa Barat. Petani kembali terancam merugi saat hasil panen garam mereka dalam sebulan terakhir kini sulit terjual.
”Sekitar 1.000 ton garam hasil panen sebulan terakhir di sentra garam Cirebon dan Indramayu belum terserap pasar. Belum ada yang beli,” ujar Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia Jawa Barat Mohammad Taufik di Cirebon, Selasa (15/8/2017).
Hal itu diungkapkan Taufik dalam rapat koordinasi Kementerian Koordinator Kemaritiman bersama pelaku usaha dan petani garam di Kota Cirebon, Jabar. Rapat itu bertujuan mendengarkan masukan dan masalah yang dialami pelaku usaha dan petani garam.
Taufik mengatakan, masuknya garam impor membuat impian petani menikmati harga ideal terancam buyar. Petani khawatir akan kembali menjual garam pada distributor dengan harga rendah. ”Impor pasti tidak akan membuat harga garam tetap tinggi sekitar Rp 3.000-Rp 3.500 per kilogram. Garam petani mungkin akan kembali dihargai Rp 500-Rp 750 per kilogram,” katanya.
Karena itu, Taufik mengatakan, skema pemerintah menetapkan harga pokok pembelian (HPP) garam Rp 2.500 per kg sebaiknya segera dilakukan. Harga itu sesuai dengan tingginya biaya produksi dan risiko akibat cuaca tak menentu.
Tasnan, pengusaha garam asal Losari, Kabupaten Cirebon, juga mengeluhkan hal serupa. Menurut dia, setelah beberapa kali gagal, lahan seluas 15 hektar miliknya kini sudah mampu panen 50 ton per hari. Namun, hal itu tak membuatnya bahagia. Alasannya, tak ada yang mau membeli garamnya itu. ”Stok milik distributor mungkin sedang melimpah karena ada impor garam,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah telah mengimpor 75.000 ton garam bahan baku untuk konsumsi asal Australia. Garam tersebut pun tengah didistribusikan ke industri kecil menengah dan rumah tangga.
Sekretaris Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia Cucu Sutara mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan petani garam untuk menyerap hasil panen petani. Masih banyak industri yang kesulitan mendapat pasokan garam. ”Petani jangan khawatir. Garam mereka pasti dibeli. Saya sendiri yang akan tanggung jawab dan menjaminnya,” ujar Cucu.
Terkait harga garam di tingkat petani yang berangsur turun, Cucu mengatakan, pihaknya selalu membeli di atas harga pokok pembelian pemerintah yang pernah diterapkan. Untuk garam konsumsi kualitas, misalnya, K1 Rp 750 per kg dan K2 Rp 550 per kg. Namun, setelah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam diberlakukan, patokan ditiadakan. ”Aturan itu masih jadi patokan. Kalau ada industri yang membeli di bawah itu, silakan laporkan ke kami,” ujar Cucu.
Akan tetapi, Cucu menuturkan, rencana pemerintah menetapkan skema harga garam di tingkat petani perlu dilakukan secara obyektif. Usulan HPP Rp 2.500 per kg di tingkat petani tidak rasional. Ongkos produksi di tingkat petani rata-rata Rp 250 per kg.
Kepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Mineral di Kementerian Koordinator Maritim Hamka mengatakan, pihaknya saat ini sedang meminta masukan dari petani dan pelaku usaha garam. Hal serupa juga telah dilakukan di Surabaya, Jawa Timur. ”Hasil pembicaraan ini akan kami bawa ke pusat untuk dibicarakan lebih lanjut. Diharapkan masa depan produksi dan tata niaga garam nasional bisa lebih baik,” ujarnya.