SOLO, KOMPAS — Jumlah mata air di eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah, terus berkurang. Dalam rentang waktu 10 tahun terakhir, setidaknya 198 mata air mati. Supaya mata air tetap bertahan, harus ada upaya pelestarian dengan menanam jenis pohon pelindung mata air.
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKP DAS) Solo Nur Sumedi mengatakan, berdasarkan data BPTKP DAS, pada tahun 2006, di wilayah eks Karesidenan Surakarta—yang meliputi Solo, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Boyolali, Sragen, dan Klaten—ada 421 mata air. Pada tahun 2016, jumlah mata air itu berkurang menjadi 223 mata air.
”Dalam rentang 10 tahun, dari 2006 hingga 2016, itu telah terjadi penurunan jumlah mata air hingga 47 persen. Kondisi ini termasuk kritis,” kata Sumedi di Solo, Jawa Tengah, Rabu (16/8).
Sumedi mengatakan, sebenarnya tutupan vegetasi di Jawa Tengah mencapai 42 persen dari luas DAS. Persentase itu lebih tinggi daripada yang disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur bahwa minimal 30 persen dari setiap DAS harus berupa hutan/vegetasi. Meski demikian, penurunan jumlah mata air terus terjadi. ”Harus ada upaya-upaya pelestarian mata air yang tersisa sehingga penurunan jumlah mata air ini tidak terus berlanjut,” katanya.
Peneliti BPTKP DAS, Dody Yuliantoro, mengatakan, berkurangnya mata air disebabkan sejumlah faktor, di antaranya berkurangnya daerah resapan air. Faktor lain adalah berkurangnya vegetasi pohon pelindung mata air dan pemanfaatan air secara berlebihan. ”Dari sejumlah mata air yang mengalami kekeringan atau mati, di sekitarnya dulu ada pohon-pohon pelindung, tetapi kemudian sudah tidak ada pohonnya lagi,” katanya.
Dody menuturkan, harus ada upaya perlindungan mata air yang tersisa dan pemulihan kembali mata air yang mati. Perlindungan bisa dilakukan dengan penanaman jenis pohon yang tepat di sekitar mata air serta di area imbuhan ke arah hulu. ”Jika tidak ada pohon, air hujan yang turun akan mengalir menjadi air permukaan. Dengan adanya pohon, air hujan tidak langsung menjadi air permukaan, tetapi akan meresap ke dalam tanah dan menjadi cikal bakal mata air,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian tim BPTKP DAS, ada 15 jenis pohon yang dapat berfungsi sebagai pelindung mata air, yakni aren, gayam, kedawung, trembesi, beringin, elo, preh, bulu, benda, kepuh, randu, jambu air, jambu alas, bambu, dan picung. Jenis pohon itu banyak ditemukan di sekitar mata air. Selain berfungsi sebagai pelindung, pohon-pohon itu juga memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Pohon aren, misalnya, menghasilkan nira dan kolang-kaling. Adapun daun dan akar beringin merupakan bahan obat malaria dan disentri. ”Dari hasil survei, pohon beringin ditemukan hampir di setiap mata air,” katanya.
Menurut Dody, mata air yang telah mati dapat dipulihkan kembali dengan menanam pohon-pohon pelindung mata air di sekitarnya dan di area imbuhan. Akan tetapi, dibutuhkan waktu lama agar mata air bisa mengalir lagi, setidaknya 15-16 tahun.
”Mata air yang masih aktif di sekitarnya selalu ada pohon-pohon pelindung yang rimbun dan besar berusia puluhan tahun. Sementara mata air yang mati, lahan di sekitarnya sudah beralih fungsi,” kata Dody.
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yuliarto Joko Putranto menyatakan akan menyosialisasikan 15 jenis tanaman tersebut untuk dikembangkan di daerah aliran sungai guna menyelamatkan mata air. Pihaknya juga akan mempersiapkan bibit 15 jenis pohon pelindung mata air tersebut untuk dikembangkan. ”Perbenihannya harus kami siapkan dulu,” katanya.