"Perawan-perawan" di Pesisir Selatan Flores
Di salah satu dari enam pondok tanpa dinding duduk dua pria dan seorang wanita. Pakaian mereka berkibar-kibar tertiup angin yang menerpa pesisir selatan Pulau Flores. Percakapan mereka hampir tidak terdengar, terkalahkan suara deburan ombak yang tidak henti menghantam batu. Dari rumah penduduk terdekat, pondok-pondok itu berjarak 2 kilometer.
Kawasan yang oleh penduduk setempat diberi nama Pantai Hera itu jauh dari hiruk pikuk. Kendaraan yang lewat setiap jam bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Dari jalan raya Labuan Bajo-Ruteng, bagian dari jalan utama di Pulau Flores, pantai itu berjarak 22 km.
Meski jalannya sepi, butuh lebih dari dua jam untuk mencapai Pantai Hera dari jalan Labuan Bajo-Ruteng. Kecil dan sebagian rusak adalah kondisi sepanjang jalan menuju pantai Hera yang tersembunyi di sisi selatan Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur itu.
Dari 22 km jalan, hanya 7 km yang benar-benar beraspal mulus. Setelah itu, sebagian jalan yang juga dikenal sebagai poros selatan Manggarai itu berlubang dan aspalnya terlepas. Jalan selebar 3 meter itu juga berlapis batu di banyak tempat. Bukan batu kerikil seukuran jari. Batu di jalan itu berdiameter 10 cm hingga 30 cm.
Jika ada dua mobil dari arah berlawanan, salah satu harus dipinggirkan agar mobil lain bisa lewat. Beruntung orang-orang Flores selalu bersedia berbagi jalan. Mereka akan sigap menghentikan kendaraan jika melihat ada mobil dari arah berlawanan mendekati. Jika kedua mobil sama-sama berhenti, mobil yang lebih dahulu berhenti akan diberi kesempatan lewat terlebih dulu.
Kesediaan berbagi itu amat membantu melancarkan arus lalu lintas di jalan kecil seperti menuju Pantai Hera. Selain siap berbagi, para pengguna kendaraan di jalan itu juga sigap saling membantu. Jika ada kendaraan berhenti, pengemudi dan penumpang dari kendaraan lain akan berhenti lalu menanyakan apa penyebabnya. "Kalau bukan karena kerusakan, kami saling sapa saja lalu melanjutkan perjalanan," ujar Jehadut, salah seorang warga, yang melintasi poros selatan Manggarai itu pada awal Agustus 2017.
Jalan poros selatan itu sebenarnya bisa menjadi alternatif akses dari Labuan Bajo di Manggarai Barat menuju Desa Wisata Wae Rebo di Manggarai. Kini, kedua kawasan wisata itu dihubungkan jalan utama Flores yang waktu tempuhnya bisa mencapai enam jam. Waktu perjalanan bisa dipangkas menjadi tiga jam jika menggunakan poros selatan Manggarai.
Jembatan putus
Namun, jalan alternatif itu sudah setahun tidak bisa dipakai setelah jembatan Wae Wuang di Satarmese, Manggarai, putus sejak Juni 2016. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Manggarai Adi Empang mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Manggarai belum bisa menanggung perbaikan jembatan itu. "Kami sudah mengajukan proposal ke pusat. Kami berharap pusat mendukung karena jembatan itu akses ke daerah wisata," uajrnya.
Jembatan itu putus karena diterjang banjir bandang. Sebelum diterjang banjir, kondisi jembatan sudah keropos karena terus-menerus terkena air laut. Dari tepi laut, jembatan itu tidak sampai 5 meter dan rutin dihantam ombak Laut Sawu yang kuat menerpa pesisir selatan Flores.
Kerusakan jembatan itu menambah daftar keterbatasan infrastruktur di jalur selatan Manggarai. Dari Lembor ke Satarmese dihubungkan lebih dari 10 jembatan, empat di antaranya merupakan jembatan besar. Jika jembatan Wae Wuang putus total, kondisi jembatan Wae Ara dan jembatan Wae Cincar sudah bertahun-tahun tidak dirawat.
Jembatan Wae Ara berangka besi dan berbadan kayu. Sebagian kayu di badan jembatan sudah rusak. Mobil-mobil harus bergantian lewat jika berpapasan di jembatan itu. Sementara jembatan Wae Cincar sudah rusak fondasinya. Fondasi sisi darat sudah terpisah sebagian dengan badan jembatan. Padahal, di bawah jembatan terbentang jurang hingga 5 meter.
Jembatan besar dalam kondisi baik hanya jembatan Wae Mege yang dibuat pada 2016. Jembatan itu menggantikan jembatan lama yang rusak bertahun-tahun sebelumnya.
Adapun jembatan-jembatan lain berupa cor semen dengan ketebalan rata-rata 20 cm dari dasar sungai. Cor itu persis menempel di dasar sungai. Saat hujan, jembatan yang banyak ditemui di Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Papua itu tergenang oleh aliran sungai.
Selalu tergenang
Akan tetapi, ada juga jembatan model cor yang selalu tergenang seperti di Desa Watewaja, Kecamatan Lembor Selatan, Manggarai Barat. Dalam kondisi normal, jembatan itu tergenang rata-rata 5 cm. Tidak sampai 10 meter dari jembatan itu, ada lagi badan jalan yang juga terus-menerus tergenang karena berada di badan sungai.
Warga tidak punya jalan lain dan harus melewati jalan yang bergabung dengan badan sungai itu. Selain tergenang, batu-batu dengan diameter 10 cm hingga 30 cm bertebaran di jalan itu. Setiap pengemudi mobil hanya bisa memacu kendaraan maksimal 5 km per jam jika melewati bagian jalan itu.
Padahal, sepanjang jalan poros itu ada pantai-pantai perawan di pesisir selatan Manggarai. Selain Pantai Hera, ada Pantai Mberenang dan Pantai Watu Teri. Jika sudi menyeberang, ada Pulau Mulas yang pesisirnya berupa pantai berpasir putih. Tempat menyeberangnya tidak jauh dari jembatan Wae Wuang.
Sayang, Wae Wuang bersama Wae Mege dan jalan yang dihubungkan jembatan-jembatan itu sudah lama rusak. Kerusakan itu menjadi salah satu penyebab pantai-pantai di pesisir selatan Manggarai tetap perawan dan tersembunyi dari pelancong.