logo Kompas.id
NusantaraEkspor Kopi Premium dari Solok...
Iklan

Ekspor Kopi Premium dari Solok Meningkat

Oleh
· 5 menit baca

Ekspor kopi arabika premium dari Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sepanjang 2017 ini meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan tidak terlepas dari semakin gencarnya promosi dan tingginya kebutuhan akan kopi dengan kualitas premium di dunia. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Surian Permai di daerah Surian, Kabupaten Solok, misalnya, pada 2016 hanya mengekspor 500 kilogram hingga 1 ton kopi setiap bulan dengan tujuan Korea, Jepang, dan Australia. Tahun ini, meskipun hasil panen 297 petani yang tergabung dalam 12 kelompok tani menurun, mereka sudah mengekspor 8 ton. Ketua Gapoktan Surian Permai Edra Novid, pada acara Festival Kopi Minangkabau 2017 di Padang, Rabu (2/8), mengatakan, meningkatnya permintaan karena semakin gencarnya promosi kopi Solok oleh pihak terkait seperti Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (AKSI) dan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) pada acara-acara kopi dunia. Hal itu membuka pasar karena masyarakat pencinta kopi dunia penasaran dengan kopi baru. Apalagi kopi solok, yang ditanam di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, salah satunya memiliki aroma rempah yang membedakan dengan kopi arabika daerah lain.Peningkatan ekspor juga dirasakan petani di kawasan Lembah Gumanti dan Danau Kembar, Kabupaten Solok, yang tergabung dalam Koperasi Solok Radjo. Salah satu pendiri Koperasi Solok, Radjo Teuku Firmansyah, mengatakan, tahun 2015, mereka hanya mengekspor sekitar 800 kilogram kopi spesialti (kopi premium) dengan tujuan Amerika Serikat dan Australia. Tahun ini meningkat menjadi 10 ton."Selain pasar yang semakin bagus, apresiasi masyarakat terhadap kopi yang diproses dengan cara yang baik juga semakin meningkat. Orang semakin banyak mencintai kopi. Fenomena itu tidak hanya terjadi di Tanah Air, tetapi juga di luar negeri," kata Teuku.Meskipun meningkat, baik Edra maupun Teuku mengaku belum bisa memenuhi tingginya permintaan ekspor. Hal itu terjadi karena masih terbatasnya produksi saat panen. Apalagi mereka juga tidak hanya memproduksi kopi premium untuk kebutuhan ekspor, tetapi juga dalam negeri seperti Sumatera Barat dan Pulau Jawa. "Pasar Amerika Serikat, misalnya, meminta sebulan lima kontainer atau 100 ton. Namun, kami baru bisa menyediakan sekitar lima ton per bulan," kata Edra. OptimistisTeuku optimistis mereka akan bisa memenuhi kebutuhan ekspor. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi. "Salah satu kendala petani adalah persoalan bibit, karena harganya juga cukup tinggi. Hal itu kami siasati dengan menggandeng pemerintah, termasuk pihak ketiga seperti badan usaha milik negara (BUMN), untuk menyediakan bibit bagus," kata Teuku.Sejalan dengan itu, kata Teuku, mereka juga terus meningkatkan kapasitas sekitar 2000 keluarga petani yang tergabung dalam Solok Radjo. Peningkatan kapasitas itu terutama tentang teknik budidaya dan penanganan pascapanen.Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Solok Tusrial, yang turut hadir dalam Festival Kopi Minangkabau, mengatakan, untuk menggenjot produksi kopi demi memenuhi kebutuhan ekspor, tahun ini pihaknya melakukan perluasan area tanam hingga 500 hektar. Bersamaan dengan itu, disiapkan pula 40.000 bibit kopi.Instruktur Pusat Pelatihan Kopi Indonesia (PPKI), Musnidar, yang memberi materi seminar pada Festival Kopi Minangkabau, mengatakan, prospek kopi solok besar. Sayangnya, kemampuan produksi masih terbatas. "Akibatnya, kopi solok belum bisa ekspor langsung. Digabung dengan kopi dari daerah lain dulu di Medan, baru dikirim ke negara tujuan. Jadi, kalau ingin mengekspor langsung, produksi dan standar mutu harus ditingkatkan. Di samping itu, pemerintah daerah juga harus punya komitmen menjadikan kopi sebagai prioritas," ujar Musnidar.Belum optimalDi Lampung, belum semua petani kopi mempunyai keterampilan mengolah biji kopi dengan baik. Pengolahan pascapanen kopi yang belum optimal disebabkan minimnya pengetahuan dan keterbatasan perekonomian petani.Di Desa Air Kubang, Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, misalnya, petani masih menjemur kopi di atas tanah tanpa menggunakan terpal. Padahal, cara penjemuran seperti itu dapat memicu tumbuhnya jamur pada biji kopi.Tohari (80), petani kopi di Air Kubang, mengatakan, menjemur kopi dengan cara diletakkan di tanah sudah dilakukan puluhan tahun. Cara itu diajarkan oleh nenek moyangnya sejak lama. "Selama ini, tidak ada masalah berarti pada biji kopi. Setelah kering, biji kopi itu langsung dikemas dan jual kepada pengepul," kata Tohari.Sukoso (33), petani kopi lainnya, mengatakan, dia tidak punya biaya untuk membangun lantai semen untuk menjemur kopi. Karena alasan itulah, dia tetap menjemur biji kopi yang telah dipanen di atas tanah.Untuk membangun lantai semen berukuran 7 meter x 10 meter, misalnya, dia membutuhkan uang sekitar Rp 5 juta untuk membeli pasir dan semen. Bahan yang harus dibeli di luar kecamatan itu membuat ongkos angkut mahal. Harga sewa satu truk sekitar Rp 1 juta.Padahal, Sukoso hanya mendapat uang Rp 1 juta pada panen tahun ini. Uang itu merupakan hasil penjualan 40 kilogram kopi kering saat harga kopi Rp 25.000 per kg. Sukoso mengatakan, dia sebenarnya mengetahui jika menjemur kopi di atas tanah dapat memicu tumbuhnya jamur pada biji kopi. Lagi pula, meskipun telah mengering, biji kopi tidak dapat disimpan lama. "Biji kopi harus sudah dijual paling lama tiga bulan. Kalau disimpan lama di dalam gudang, biji kopi bisa menjamur. Selain itu, warnanya juga jadi agak buram," ujarnya.Sarijo, pengurus Gapoktan Karya Mandiri di Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, mengatakan, tidak semua petani kopi memiliki keterampilan mengolah kopi dengan baik. Hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain, minimnya pengetahuan dan keterbatasan ekonomi. Dia mencontohkan, tidak semua petani mau hanya memetik biji kopi yang kulitnya berwarna merah. Petani tetap memetik biji kopi yang kulitnya hijau."Petani sudah memetik kopi meskipun baru 60 persen biji kopi yang telah matang. Petani khawatir biji kopi akan rontok ke tanah jika terlalu matang. Selain itu, mereka tidak bisa pergi ke kebun setiap hari untuk mengecek biji kopi karena jarak kebun jauh," kata Sarijo.Padahal, kata Sarijo, kopi yang dipanen dalam kondisi benar-benar matang akan memiliki cita rasa lebih kuat. Selain itu, biji kopi tidak cepat pecah dan warnanya pun kekuningan. Harga jual pun lebih mahal. "Selisih harga Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per kg," ujarnya.Kepala Seksi Tanaman Semusim dan Rempah Dinas Perkebunan dan Peternakan Lampung Ahliansyah, menyebutkan, pengolahan pascapanen yang tidak tepat dapat menurunkan kualitas kopi asal Lampung. Selain itu, kopi yang cacat biasanya dijual untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri."Pemerintah telah berupaya memberikan pembinaan pengolahan pascapanen kepada petani. Namun, tidak semua petani bersedia menerapkan pengolahan yang baik dan sesuai standar," kata Ahliansyah. (Ismail Zakaria/Vina Oktavia)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000