Liar, 75 Persen Pelintasan Sebidang di Indonesia
KENDAL, KOMPAS – Sebanyak 75 persen pelintasan sebidang kereta api (KA) di Indonesia berkategori liar. Kementerian Perhubungan kesulitan menutup pelintasan tak berizin tersebut karena terkait akses bagi warga setempat. Di sisi lain, tanggung jawab pelintasan sebidang tidak berizin ada di tangan Pemerintah Daerah.
Menurut Direktur Keselamatan Perkeretaapian Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Edi Nursalam, pengamanan pelintasan sebidang tak berpintu mendesak. Terlebih lagi, ada banyak jatuh korban.
Berdasarkan data Kemenhub, dari sekitar 5.800 pelintasan kereta api di Indonesia, hanya 1.200 perlintasan yang berizin.
“Pemerintah daerah wajib mengamankan jika jalur itu dianggap strategis bagi masyarakat,” kata Edi, Senin (21/8/2017) di sela-sela penutupan pelintasan sebidang liar di Desa Gebang, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Hari Minggu (20/8) siang, sebuah minibus tertabrak kereta api di pelintasan sebidang tak berpintu di Desa Gebang, Kecamatan Gemuh, Kendal yang menyebabkan lima penumpang tewas.
Catatan Kompas, sejak April 2017, sebanyak 12 orang meninggal akibat kecelakaan di pelintasan sebidang liar di Kota Semarang, Kabupaten Grobogan, dan Kendal.
Adapun pengamanan pelintasan sebidang menjadi tanggung jawab pemilik jalan, yakni Pemkab dan Pemkot untuk jalan kabupaten dan kota atau atau pemprov untuk jalan provinsi.
Selain keterlibatan Pemda, kata Edi, perlu didorong kesadaran warga untuk mengelola pelintasan sebidang secara swadaya. Pasal 94 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian sebenarnya mengatur penutupan pelintasan sebidang yang tak berizin. Namun, kata Edi, penutupan sulit dilakukan karena berkaitan dengan aksesibilitas warga. “Untuk itu, yang utama saat ini adanya pengamanan,” jelasnya.
Kesepakatan
Edi mengatakan, dalam waktu dekat, pihaknya akan menggandeng Pemkab Kendal, camat, dan seluruh kepala desa yang di wilayahnya terdapat pelintasan sebidang liar. Dalam pertemuan itu, diharapkan ada pernyataan komitmen untuk bersama-sama menjaga pelintasan tak berpintu.
Sebelumnya, pada 9 Agustus lalu, kesepakatan telah dicapai antara Kemenhub bersama sejumlah kades di Kabupaten Grobogan untuk menjaga pelintasan sebidang. Jika hingga akhir Desember belum ada penjagaan swadaya, maka pelintasan akan ditutup.
Jalur KA di bagian utara Jateng menjadi perhatian utama Kemenhub lantaran sudah dilengkapi rel ganda. “Seluruh daerah di utara seperti Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Demak akan kami datangi. Jika tidak dengan cara itu, kecelakaan akan terus berulang,” kata Edi.
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Kendal, Mohammad Toha mengakui, saat ini, dari 31 pelintasan sebidang di Kendal, baru 12 yang dijaga. Kendala utama terkait pengelolaan penjaga pelintasan. Lantaran tak ada alokasi pegawai negeri sipil, pihaknya merekrut tenaga harian.
Toha menambahkan, rekrutmen butuh proses karena setiap penjaga pelintasan harus memahami prosedur standar. “Namun, setelah dididik dan mulai bekerja, sejumlah penjaga memilih berhenti. Lantaran tenaga harian, kami sulit mengaturnya,” kata dia.
Adapun setiap pelintasan sebidang dijaga oleh empat orang. Upah masing-masing petugas di pelintasan tersebut yakni Rp 1,3 juta per bulan.
Pemkab Kendal segera mengumpulkan para camat dan kades untuk mendiskusikan pengelolaan pelintasan sebidang. “Jika jalur tersebut strategis bagi warga, maka akan kami pasang pintu dan dijaga. Jika tidak, maka jalur ditutup. Aksesnya digabung,” ujarnya.
Warga Desa Gebang Selatan, Kecamatan Gemuh, Kendal, Achmad Khoiri (45) mengatakan, selama ini, pelintasan sebidang penting bagi warga karena menjadi akses utama masuk dan keluar desa. Jika ditutup, warga harus melewati jalan lain yang jaraknya lebih jauh 1,5 kilometer.
Manajer Senior Pengamanan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) 4, Endra Harahap menuturkan, dari 470 pelintasan sebidang di wilayah itu, hanya 114 unit yang dijaga. Dalam tiga bulan terakhir, PT KAI Daop 4 telah melakukan pematokan di 109 pelintasan sebidang.