Perda Kawasan Tanpa Rokok Butuh Pendekatan Persuasif
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Penyusunan dan penerapan peraturan daerah mengenai kawasan tanpa rokok sebaiknya mengutamakan pendekatan persuasif agar aturan tersebut bisa diterima semua pihak. Apalagi, selama ini penyusunan peraturan kawasan tanpa rokok masih mengalami berbagai hambatan termasuk penolakan dari pihak-pihak tertentu.
Demikian diungkapkan Ketua Aliansi Bupati serta Wali Kota Peduli Kawasan Tanpa dan Penyakit Tidak Menular, Hasto Wardoyo, dalam Workshop Penyusunan dan Penerapan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Selasa (22/8/2017), di Yogyakarta.
Hasto mengatakan, penyusunan dan penerapan perda tentang KTR memang tidak mudah. Hal ini karena upaya pemerintah daerah untuk menyusun perda KTR masih kerap mengalami penolakan dari pihak-pihak tertentu. ”Untuk membuat perda KTR, bebannya memang besar,” ujar Bupati Kulon Progo tersebut.
Hasto menuturkan, saat menginisiasi perda KTR di Kulon Progo, DI Yogyakarta, beberapa tahun lalu, pihaknya juga mengalami hambatan yang cukup besar. Banyak anggota DPRD Kulon Progo saat itu yang merupakan perokok. ”Namun, berkat upaya persuasif kami, anggota DPRD Kulon Progo akhirnya menyetujui perda KTR,” katanya.
Dia menambahkan, agar penyusunan perda KTR dapat berjalan baik, pemerintah daerah sebaiknya mendekati pihak-pihak yang berpotensi mendukung aturan tersebut. Salah satu kelompok yang bisa didekati untuk mendukung penyusunan perda KTR adalah kelompok perempuan. ”Yang paling mudah ’diprovokasi’ untuk mendukung aturan ini adalah ibu-ibu karena mereka, kan, sebenarnya tidak suka kalau suaminya merokok,” ungkapnya.
Menurut Hasto, apabila kelompok-kelompok warga bisa diajak mendukung perda KTR, dukungan dari DPRD akan lebih mudah didapatkan. ”Kalau dukungan warga sudah ada, kami bisa menyampaikan ke DPRD bahwa konstituen mereka juga mendukung perda kawasan tanpa rokok. Dengan demikian, anggota DPRD tidak perlu khawatir kehilangan dukungan apabila mendukung perda ini,” tuturnya.
Hasto juga memaparkan, pembatasan aktivitas merokok dan pelarangan iklan rokok bisa dimulai di tempat-tempat tertentu yang resistensinya rendah, misalnya di rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah. Setelah hal itu bisa dilakukan, pembatasan bisa diperluas ke wilayah-wilayah lain. ”Jadi, kita harus mulai dari yang kecil dulu,” ujarnya.
Meningkat
Hasto menyatakan, dari sekitar 500 kabupaten/kota di Indonesia, baru 57 kabupaten/kota yang memiliki perda KTR. Selain itu, ada sekitar 150 kabupaten/kota yang sudah memiliki aturan tentang KTR dalam bentuk peraturan bupati atau peraturan wali kota. Di DIY, dari lima kabupaten/kota, sudah ada tiga kabupaten/kota yang memiliki perda KTR, yakni Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta.
”Dari waktu ke waktu, jumlah kabupaten/kota yang memiliki perda KTR terus meningkat karena sekitar tiga tahun lalu baru sekitar 30 kabupaten/kota yang mempunyai perda KTR,” ungkap Hasto.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif sepakat upaya persuasi dan sosialisasi harus diutamakan dalam penyusunan perda KTR. Keberhasilan penyusunan perda KTR juga sangat bergantung pada komitmen bupati atau wali kota. ”Terbukti Pak Hasto di Kulon Progo bisa menerapkan perda kawasan tanpa rokok. Jadi ini tergantung pada bupati dan wali kota,” tuturnya.