Pangan Lokal Solusi Krisis Beras
MEDAN, KOMPAS — Pengembangan pangan pokok lokal untuk menyubstitusi beras mengalami perlambatan. Masyarakat mengurangi konsumsi beras, tetapi malah beralih ke bahan pangan gandum impor dan turunannya. Untuk itu, perlu inovasi untuk mengembangkan pangan lokal.Hal itu terungkap dalam seminar bertema "Percepatan Penganekaragaman Pangan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan", di Universitas Katolik (Unika) Santo Thomas Sumatera Utara, Medan, Sabtu (26/8). Pembicara utama seminar yang digelar Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (Patpi)ini Profesor Posman Sibuea dari Unika Santo Thomas dan Profesor Sri Raharjo dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. "Diversifikasi pangan adalah salah satu solusi krisis beras yang terus menjerat Indonesia. Setiap tahun kita defisit beras sehingga bergantung pada impor. Kebutuhan beras meningkat, sementara produksi stagnan bahkan cenderung menurun karena alih fungsi lahan yang masif. Jika tidak segera diatasi, kita akan sulit mencapai kedaulatan pangan," kata Posman.Menurut Posman, pangan pokok lokal, seperti ubi jalar, singkong, dan sagu, hingga saat ini masih sulit diterima karena citra, cita rasa, dan bentuknya belum dikembangkan. Pengolahan pangan lokal masih tetap tradisional. Perlu penelitian dan pengembangan untuk mengolah pangan pokok lokal.Konsumsi beras di Indonesia masih cukup tinggi, yakni sekitar 125 kilogram per kapita per tahun, jauh lebih tinggi dari Jepang yang 50 kilogram per kapita per tahun atau Malaysia yang hanya 80 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi beras Indonesia memang berkurang dari tahun ke tahun meski jumlahnya tidak signifikan. Namun, penurunan itu disebabkan peralihan ke roti dan mi berbahan gandum impor.Konsumsi gandum di Indonesia meningkat signifikan dari 8 kilogram per kapita per tahun pada 2010 menjadi 17 kilogram per kapita per tahun pada 2016. Sementara konsumsi pangan lokal berbasis umbi-umbian stagnan sekitar 7 kilogram per kapita per tahun. Karena itu, diversifikasi pangan lokal perlu dikembangkan karena punya banyak kelebihan. Umbi-umbian punya produktivitas lebih tinggi daripada beras, bukan tanaman musiman, lebih tahan pada perubahan iklim, dan nilai gizi lebih baik. Ubi jalar punya produktivitas 20 ton per hektar dengan tiga kali panen setahun. Produktivitas beras hanya 4 ton per hektar dengan dua kali panen setahun.Posman mengatakan, berbagai inovasi sudah dilakukan sejumlah universitas, tetapi masih skala kecil. Unika Santo Thomas, misalnya tengah mengembangkan beras analog berbahan ubi jalar. Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM Profesor Eni Harmayani mengatakan, Indonesia punya potensi pangan yang beragam, tetapi belum dikembangkan optimal. Ada 3.500 jenis pangan tradisional di Nusantara, tetapi pola konsumsi masyarakat hanya terpaku pada beras.Wakil Ketua Patpi Sumatera Utara Dr Ir Herla Rusmarilin mengingatkan, pengembangan pangan pokok lokal harus diikuti dengan inovasi dan teknologi. Pengembangan pangan lokal akan meningkatkan kesejahteraan petani dan dapat menjadi pilar ekonomi daerah. (NSA)