SIGI, KOMPAS — Warga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, terlibat aktif dalam memetakan lahan atau tanah untuk reforma agraria atau perhutanan sosial. Keterlibatan aktif warga diharapkan menjawab masalah tata kelola kehutanan yang selama ini dinilai tumpang tindih.
Sebanyak 125 dari 176 desa yang tersebar di 13 kecamatan di Kabupaten Sigi secara serempak menggelar pemetaan lahan yang nantinya diusulkan ke pemerintah pusat dalam skema tanah obyek reforma agraria (TORA) atau perhutanan sosial. Kegiatan dilakukan sepenuhnya oleh warga desa yang didampingi tim Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi. Sebanyak 10 orang di setiap desa melaksanakan tugas pemetaan itu sejak Juni lalu.
Gerakan bersama itu dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sigi 2016-2021. Obyek reforma agraria dan perhutanan sosial diharapkan terwujud dalam lima tahun.
Pemetaan yang dilakukan masyarakat diharapkan juga menjadi masukan korektif atas peta indikatif yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 2.000 hektar lahan atau tanah reforma agraria untuk Kabupaten Sigi.
Kepala Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Irwan Nasra menyatakan, anggota tim reforma agraria sudah memetakan atau mengidentifikasi sekitar 300 hektar. ”Itu termasuk lahan di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) seluas 10 hektar. Lahan tersebut sejak tahun 2010 tidak lagi diolah karena dilarang oleh pihak Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu,” ujarnya, Selasa (29/8).
Desa Bobo berbatasan langsung dengan TNLL di bagian selatan dan hutan lindung di bagian utara. Pada tahun 2009, sejumlah warga berkonflik dengan Balai Besar TNLL karena dinilai merambah hutan dengan menanam kemiri dan kakao. Sejak 2010, tanaman tersebut dibiarkan tak diolah.
Irwan menyebutkan, saat ini setiap keluarga di Bobo menguasai lahan untuk perkebunan tak lebih dari 1 hektar. ”Kondisi itu tentu menyulitkan dalam pengembangan ekonomi warga yang membutuhkan lahan untuk kelangsungan hidupnya,” ucapnya.
Ia menambahkan, skema yang akan diusulkan ke pemerintah pusat ialah tanah obyek reforma agraria atau perhutanan sosial. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengalokasikan total 12 juta hektar lahan untuk reforma agraria dan perhutanan sosial.
Di Desa Bunga, Palolo, seperti disampaikan Kepala Desa Markus Yalipai, masalah tumpang tindih dengan kawasan TNLL juga terjadi. Setidaknya 50 hektar kebun kemiri rakyat masuk kawasan konservasi. ”Sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 1988, kebun itu sudah diolah. Penetapan pun tak melibatkan warga,” ujarnya.
Tim reforma agraria memasukkan lahan tersebut untuk obyek reforma agraria atau perhutanan sosial. Obyek lainnya yang sudah diidentifikasi adalah lahan hak guna usaha perusahaan perkebunan seluas 107 hektar yang ditelantarkan sejak tahun 1996.
Irwan dan Markus menjamin warga akan memenuhi tuntutan atau persyaratan pengelolaan lahan dengan memperhatikan aspek konservasi.
Bupati Sigi Irwan Lapatta menegaskan, reforma agraria atau perhutanan sosial menjadi solusi atas masalah tumpang tindih dan sempitnya wilayah kelola masyarakat. Ia yakin pemerintah pusat mengakomodasi usulan lahan Kabupaten Sigi yang akan disampaikan pada Oktober nanti. Ia belum bisa menyebutkan luasan lahan untuk kedua skema tersebut.
Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansyur menyampaikan, Sigi adalah contoh komitmen pemerintah kabupaten yang mengurus secara masif skema reforma agraria atau perhutanan sosial. Daerah lain diharapkan mengambil komitmen serupa.