SAUMLAKI, KOMPAS — Konflik sosial dan ancaman kemiskinan kini mulai membayangi warga di bagian selatan Kepulauan Tanimbar, Maluku, yang dipicu masalah lahan. Sejak Presiden Joko Widodo memutuskan pembangunan kilang pengolahan gas Blok Masela di daerah itu, spekulan tanah bergerilya dan membujuk warga untuk menjual tanah mereka.
Informasi itu dihimpun Kompas sejak pekan lalu hingga Rabu (30/8/2017). Pada pekan lalu, Kompas mendatangi sejumlah pulau di Tanimbar, di antaranya Selaru, Yamdena, Seira, dan Ngolin. Secara administratif, Kepulauan Tanimbar masuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Sejumlah areal tanah, seperti di Desa Adaut, Pulau Selaru, misalnya, sudah dipatok atas nama warga dari luar pulau itu. ”Sebagian wilayah Tnyafar (areal pertanian) di Adaut sudah dijual habis. Di situ ada kelapa, pisang, dan umbi-umbian yang selama ini menjadi makanan warga,” kata Atiti Nifmas Lodarmasse, tokoh pemuda Adaut.
Ia mengatakan, beberapa waktu lalu ada satu keluarga yang menjual lahan seluas 45 hektar dengan harga Rp 1,3 miliar. Artinya, satu meter persegi tanah hanya dihargai sekitar Rp 2.888. Penjualan lahan di pulau itu tidak berdasarkan nilai jual obyek pajak. Selaru merupakan pulau terdekat dengan ladang gas Blok Masela yang berjarak sekitar 90 mil laut (167 kilometer).
Hingga saat ini, warga setempat termasuk keluarga yang menjual lahan itu tidak mengetahui identitas pembeli yang sebenarnya. ”Pembeli diduga elite dari Jakarta yang memperalat warga Tanimbar. Transaksi pembayaran dilakukan di Saumlaki (ibu kota kabupaten),” lanjutnya.
Setelah tanah dijual, sejumlah kelompok warga yang juga mengaku sebagai pemilik lahan itu menggugat sehingga terjadi perkelahian. Kasus tersebut sedang ditangani penegak hukum. Persoalan tanah di ibu kota Kecamatan Pulau Selaru itu juga dibenarkan tokoh agama setempat, Pendeta Heynard Talarima. ”Sekarang ini di Adaut sering ada sidang adat untuk menyelesaikan sengketa lahan,” ujarnya.
Menurut Heynard, pemodal lahan lewat kaki tangannya di daerah menyasar pemilik lahan yang sedang kesulitan ekonomi. Dengan harga murah sekalipun, mereka akan menjualnya tanpa mempertimbangkan nasib mereka dan anak cucunya pada masa mendatang. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dari pemerintah untuk melindungi warga agar tidak kehilangan lahan yang selama ini menjadi sandaran hidup mereka.
Tak hanya Adaut, pesoalan lahan juga terjadi di hampir semua desa di pulau yang luasnya hanya 3.667,86 kilometer persegi itu. Di Selaru terdapat tujuh desa. Desa lain adalah Kandar, Namtabung, Lingat, Fursuy, Werain, dan Eliasa.
Di Lingat, warga belum merelakan sebagian lahan mereka dijadikan pangkalan udara oleh TNI Angkatan Udara. Saat Perang Dunia II, tentara Jepang membangun pangkalan udara sepanjang 3,5 kilometer di Lingat. Negosiasi lahan masih berlangsung dan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. ”Harus bijak dan jangan sampai ada paksaan karena sejak ditinggal Jepang, warga sudah mengolah lahan itu untuk pertanian. Lahan itu milik warga karena diambil secara paksa oleh Jepang,” kata Maryo Lawalata, tokoh masyarakat di Lingat.
Sementara itu, Frets Salakan, tokoh masyarakat Desa Eliasa, menambahkan, Eliasa, Fursuy, dan Werain kini sedang dilanda konflik sosial akibat sengketa lahan. Desember lalu ada seorang warga tewas akibat konflik terbuka. Bergerilyanya spekulan tanah dikhawatirkan akan memicu lagi konflik yang lebih besar.
Kondisi yang sama juga terjadi di Pulau Yamdena, tepatnya di Desa Lermatang, Kecamatan Tanimbar Selatan. Benny Batmetan, warga, mengatakan, kepala desa setempat sudah menandatangani pelepasan lahan seluas lebih kurang 100 hektar. Pelepasan itu menimbulkan gejolak di Masyarakat.
Bupati Maluku Tenggara Barat Petrus Fatlolon, saat diwawancara pekan lalu, mengatakan, lahan di daerah itu dalam incaran makelar tanah. Oleh karena itu, ia belum mau menyampaikan lokasi tempat dibangunnya kilang gas. ”Intinya, kilang darat itu ada di Tanimbar, tapi kami belum mau menyampaikan itu,” katanya. Namun, hingga kini belum ada kebijakan konkret untuk melindungi warga setempat.