Konversi Lahan Sebabkan Banjir
PONTIANAK, KOMPAS — Alih fungsi lahan besar-besaran untuk konsesi perkebunan menyebabkan daya dukung alam menurun. Akibatnya, banjir parah terjadi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Untuk itu, konversi lahan hendaknya dihentikan.Sebagaimana diberitakan, Kecamatan Jelai Hulu dan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, dilanda banjir setinggi 2,5 meter, Rabu (30/8). Meski tak ada korban jiwa, empat rumah di Jelai Hulu hanyut terbawa arus. Banjir juga merendam puluhan rumah dan toko. Puluhan warga mengungsi dan sekolah diliburkan (Kompas, 31/8). Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Anton Widjaya, Sabtu (2/9), mengatakan, curah hujan cukup tinggi. Namun, penyebab utama banjir di kedua kecamatan itu adalah alih fungsi lahan menjadi perkebunan. "Berdasarkan data monitor, evaluasi, koordinasi, dan supervisi perkebunan 2016, luas izin perkebunan sawit di Kalbar mencapai 5,4 juta hektar. Dari jumlah itu, 1,1 juta hektar berada di Ketapang," tutur Anton. Data Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalbar pada 2016, dari Rp 17,78 triliun total realisasi investasi di Kalbar, Rp 6,01 triliun ada di Ketapang. Penyumbang investasi terbesar adalah perkebunan sawit.Topografi wilayah Jelai Hulu dan Tumbang Titi sebetulnya relatif tinggi. Namun, adanya alih fungsi lahan, hutan digunduli, membuat tanah tidak mampu menyerap air lagi. Sungai-sungai pun mendangkal karena endapan material dari hulu. "Banjir seperti itu baru pertama kali terjadi di wilayah itu, sebelumnya tidak separah itu. Bencana yang lalu itu bisa jadi hanya permulaan. Tak menutup kemungkinan terjadi bencana lebih parah jika alih fungsi lahan terus dilakukan," ujar Anton. Izin baru diharapkan tidak ada lagi. Selain itu, izin-izin yang ada hendaknya ditinjau ulang, terutama yang berada di lahan gambut atau daerah dengan kemiringan 40-45 derajat.Direktur Institut Dayakologi Benyamin Efraim mengatakan hal senada. Bahkan, wilayah-wilayah adat masyarakat juga berubah fungsi jadi perkebunan. Benyamin khawatir bencana lebih parah akan menimpa masyarakat jika tidak segera ada perubahan tata kelola lahan. (ESA)