Tagih Janji Revitalisasi Transportasi
Lampu merah menyala di perempatan Jalan Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/8) sore, bagi seorang pengemudi angkutan kota jurusan Margahayu-Ledeng, itu berarti peluang setoran terhambat. Tak ingin menunggu lama, ia nekat melanggar aturan lalu lintas. Tak sabar, ia membelokkan mobil masuk Jalan Aceh di sebelah kiri.
Di Jalan Aceh, ia memutar kemudi melindas garis lurus dilarang balik arah, lalu masuk lagi ke Jalan Merdeka.
Namun, dia kena batunya. Tingkah curangnya ketahuan polisi yang sejak tadi kepayahan mengatur lalu lintas di persimpangan padat kendaraan itu.
”Lampu merah dibuat supaya lalu lintas lancar. Bapak, kok, seenaknya memutar arah,” ujar polisi itu kesal. STNK dan SIM sopir angkot nakal itu diminta. STNK ditahan, SIM dikembalikan bersama surat tilang.
Saat pelanggaran terjadi, Kompas jadi satu dari sembilan penumpang angkot itu. Ironis. Angkot itu adalah satu dari 25 angkot yang masuk program Angkot Pintar (Antar) Kota Bandung. Antar diinisiasi Pemkot Bandung bersama komunitas Rindu Menanti, akhir tahun lalu. Belum lama diluncurkan, kelakuan pengemudi ternyata tak sepintar programnya.
Jadi salah satu program unggulan Pemkot, angkot itu sebenarnya menjanjikan. Rupa fisiknya berbeda ketimbang angkot lain. Cat hijaunya mulus mengilap. Belum ada karat atau bagian yang bolong.
Stiker bertuliskan Angkot Pintar menempel di sisi kanannya. Jargonnya pun istimewa: Bersih, Nyaman, dan Aman. Keberadaannya jadi andalan untuk menarik warga berpindah moda transportasi. Berdasarkan data Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung, baru sekitar 40 persen dari 2,5 juta penduduk Bandung yang mau naik transportasi massal.
Akan tetapi, ragam fasilitas di dalam Antar yang dijanjikan seperti tak berbekas. Tak ada air minum gratis di dalamnya. Wadah tisu kosong, tempat sampah tidak tersedia. Perpustakaan mini yang jadi andalan hanya terisi satu buku kumal.
Sehari sebelumnya, Kompas mendapati sopir Antar jurusan Cicaheum-Ciroyom merokok saat mengemudi. Di jalur yang sama, unit Antar lain nekat melanggar marka jalan menembus kemacetan. Persaingan ketat saat ini antara angkot dan kendaraan pribadi hingga angkutan daring membuat pengemudi Antar bersikap sembrono di jalan raya.
Menurut Rahmad (34), warga Margahayu, Antar tidak berbeda dengan angkot lain. Fasilitas pendukung tidak dirawat. Kelakuan pengemudinya tak berbeda dengan pengemudi angkot biasa. Merokok saat mengemudi hingga mengetem di sembarang tempat masih kerap dilakukan.
”Tak ada kepastian waktu kalau naik angkot. Tidak heran kalau banyak masyarakat enggan naik angkot. Saya terpaksa naik angkot karena tidak punya kendaraan pribadi,” ujar Rahmad.
Kepala Seksi Kelaikan dan Keselamatan Transportasi di Dishub Kota Bandung Viky Ardi mengatakan, status Antar dapat dicabut jika fasilitas pendukung tidak dirawat dan pengemudinya melanggar aturan.
”Kami akan evaluasi bersama komunitas pendamping. Jika sopir melanggar aturan, akan ditegur melalui koperasi yang menaungi dia. Sebab, angkot pintar seharusnya menjadi contoh baik bagi angkot lain,” ujarnya.
Ironi di jalanan Bandung tak hanya didominasi pengemudi angkot. Dari balik jendela Antar, kita disuguhi beragam pelanggaran yang dianggap biasa. Melintasi jalan-jalan utama kota Bandung seperti RE Martadinata, Jalan Merdeka, dan Jalan Setiabudi, lalu lintas terlihat semrawut.
Rambu lalu lintas dilarang parkir dan berhenti seperti hanya hiasan. Angkot dan kendaraan pribadi berhenti seenaknya. Jalan yang menjadi sempit membuat antrean panjang lalu lintas terasa sangat membosankan.
Pelanggaran aturan lalu lintas tak hanya memicu macet panjang. Pejalan kaki pun seperti tak punya kuasa atas pedestrian. Risiko tertabrak bisa terjadi kapan saja. Penyebabnya, mobil seenaknya parkir di trotoar. Saat maju mundur parkir, mobil rentan menabrak pejalan kaki. Apalagi sepeda motor, moda transportasi ini leluasa berjalan dan parkir di trotoar. Promosi Kota Bandung agar warganya lebih banyak jalan kaki pun terdengar sia-sia.
Penggowes sepeda pun tak berdaya. Tanpa jalur khusus, bunyi klakson pengemudi kendaraan yang terjebak macet seperti mengusir pesepeda dari jalan. Program Bike on the Street Everybody Happy (Boseh) yang baru diluncurkan tahun ini mendapat tantangan berat. Program Pemkot Bandung itu berupa penyewaan sepeda gratis untuk meminimalkan kemacetan. Bukan pekerjaan mudah menarik orang naik sepeda jika lalu lintas tak ramah.
Tantangan berat
Padahal, Kamis siang itu, sebanyak tujuh sepeda berkelir merah, putih, hijau, dan biru tiba di Madrasah Aliyah Manba’ul Huda Kota Bandung. Sudah lama dinanti, sepeda itu jadi bagian dari 270 sepeda yang dibagikan ke 39 sekolah di Kota Bandung. Kegiatan tersebut hasil kerja sama Dishub Kota Bandung dan PT Pertamina untuk pelajar Kota Bandung.
Kepala MA Manba’ul Huda Rosihan Fahmi mengatakan, program bersepeda ke sekolah sejalan dengan kebijakan sekolah. Mulai pertengahan tahun ini, siswa tanpa SIM dilarang membawa kendaraan bermotor ke sekolah. Selain menjamin keamanan di jalan raya, program ini bertujuan menekan polusi di Bandung.
Taufik Solehudin (16), siswa Manba’ul Huda, langsung mencoba sepeda bantuan itu. Wajahnya semringah. Sudah hampir satu tahun sepedanya rusak. Dari rumahnya di Kiaracondong berjarak sekitar 6 kilometer dari sekolahnya di Cijawura Girang, dia terpaksa naik angkot.
”Asyik, bisa sepedaan lagi ke sekolah. Naik sepeda lebih aman dan sehat,” ujarnya.
Akan tetapi, bagi sebagian penggowes sepeda, revitalisasi transportasi tak cukup sekadar memberikan sarana. Sosialisasi dan pengawasan program harus jadi yang utama.
Agus Prabawa (37), pehobi sepeda asal Padasuka, Bandung, mengatakan, lalu lintas padat Bandung seperti menyisihkan para pengguna sepeda. Salah satu indikatornya, jalur khusus sepeda yang dibuat tahun 2011 kini pudar garis-garisnya.
”Kalau tidak nyaman seperti ini, sulit mengajak banyak orang untuk meninggalkan kendaraan bermotor pribadi. Akhirnya, Bandung akan semakin macet,” kata Agus.
Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Ade Sjafrudin, mengatakan, perhatian pada infrastruktur jalan dan lalu lintas tidak cukup dilakukan begitu selesai mendesain dan membangun. Perawatan dan pemeliharaan harus mendapat perhatian penting.
”Pemerintah harus menganggap jalan sebagai aset penting. Keberadaan jalan yang baik berpotensi memberikan perbaikan kesejahteraan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik di segala bidang,” katanya.
Beragam program ramah transportasi dari Pemkot Bandung tentu dibuat dengan tujuan mulia. Namun, tanpa langkah konkret untuk memelihara dan menjadikan sebagai gerakan bersama, banyak program itu terancam sia-sia.