Reog ponorogo mengawali iring-iringan para imam menuju muka Gereja Santo Gregorius Agung, Kota Jambi, Minggu (3/9) pagi. Di depan gereja, puluhan remaja berpakaian adat Flores bersiap menyambut rombongan. Nyanyian dan tarian asal pulau bunga itu pun dipersembahkan.
Keberagaman budaya terasa melekat sedari awal hingga berakhirnya misa. Selain reog ponorogo serta tarian dan nyanyian Flores, ada pula tarian etnis Tionghoa menyambut rombongan pembawa persembahan berisi gunungan buah. Gondang batak pun mengisi kemeriahan di akhir acara peresmian gereja.
Tak kalah uniknya, ribuan umat yang hadir berpakaian adat mewakili kekhasan daerah masing-masing. Suasana pagi itu digambarkan Uskup Agung Palembang Mgr Aloysius Sudarso SCJ sebagai kebinekaan yang mencerminkan Sang Pencipta. ”Mahakuasa Tuhan yang bisa menciptakan perbedaan-perbedaan pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Itu menunjukkan Tuhan luar biasa,” ujarnya.
Kepada seluruh umat, Aloysius Sudarso berpesan agar umat menjaga kebinekaan itu dalam kebersamaan di Paroki St Gregorius Agus. Paroki agar mencerminkan cinta kasih untuk semua orang tanpa membedakan latar belakangnya.
Penantian belasan tahun
St Gregorius Agung akhirnya diresmikan sebagai paroki baru pada Minggu lalu setelah penantian selama belasan tahun. Paroki ini merupakan buah dari terus berkembangnya jumlah umat Katolik di Jambi.
Sejak berdirinya paroki pertama St Teresia pada 1935, pertumbuhan umat Katolik Jambi sungguh luar biasa. Berangkat dari segelintir orang Tionghoa, Jawa, dan Batak, jumlah umat kini telah melebihi 12.000 jiwa. Dengan keberadaan sekitar 70 persen umat yang berdomisili di dalam kota, daya tampung gereja tidak lagi memadai.
St Teresia yang terletak di kawasan Pasar Jambi hanya berkapasitas 600 orang. Kalaupun jumlahnya dipecah dalam empat kali misa sepanjang Sabtu dan Minggu, gereja hanya mampu menampung maksimal hingga 2.400 orang. Sebagian umat terpaksa mengikuti misa di halaman gereja. Belum lagi parkir kendaraan umat di setiap jadwal misa memenuhi sepanjang bahu jalan sehingga menambah beban lalu lintas.
Ide pembangunan paroki muncul pada awal 1990. Bahkan, dalam sinode keuskupan terakhir di Palembang, menyeruak wacana bahwa sudah layak apabila Jambi yang umatnya bertumbuh sedemikian pesat dikembangkan sebagai keuskupan baru. Di Pulau Sumatera, keuskupan baru ada di Palembang, Medan, Padang, Pangkal Pinang, dan Sibolga. Adapun Paroki St Teresia kini bagian dari keuskupan Palembang.
Di Jambi, tersebar pula gereja Katolik Payo Selincah serta sejumlah stasi di Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Batanghari, Muara Bungo, Sarolangun, Tebo, dan Kerinci.
Keberadaan Paroki St Gregorius Agung yang baru diresmikan ini diyakini sebagai berkat tak terduga. Bagaimana tidak, Dewan Paroki sebenarnya telah membeli tanah dan merencanakan pemekaran paroki di kawasan Mayang, Simpang III Sipin. Di atas tanah seluas 7.617 meter persegi di sebuah lorong jalan yang diberi nama Lorong Harapan itu, mulai dirintis pembangunan gereja. Bangunan berbentuk rumah permanen berukuran 12 meter x 8 meter itu diberi nama Pondok Harapan. Sesuai namanya, pondok itu menjadi simbol harapan akan lahirnya paroki pemekaran.
Namun, berbagai tantangan terus menyelimuti proses pembangunan gereja di Mayang, yang dirintis sejak tahun 1999. Panitia pembangunan gereja tak kunjung mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) gereja dari Pemerintah Kota Jambi. Di luar dugaan, Pemkot Jambi memberikan IMB di sebuah kebun sawit seluas 2 hektar milik salah seorang umat, Sinulingga. Gereja Gregorius Agung akhirnya dibangun di lahan yang jauh lebih luas dari lahan di Mayang.
Pembangunan yang dimulai tahun 2013 itu berjalan amat cepat. Tiga tahun kemudian, bangunan gereja sudah mencapai 80 persen dan sudah bisa digunakan untuk misa umat. Peresmiannya sebagai paroki dilakukan oleh Uskup Agung di hadapan 4.000 umat Katolik, Minggu lalu.
Romo Paroki St Gregorius Agung, Yohanes Haryoto SCJ, melihat kuasa Tuhan di luar kehendak manusia dan memang selalu indah pada waktunya. ”Siapa yang menyangka, tempat yang diberikan ini begitu luas dan dapat menampung lebih banyak umat dari beragam latar budaya,” ujarnya.
Dari gereja itu, ada harapan cinta kasih mengalir lebih banyak kepada sesama.