Pemkot Cirebon Hentikan Pengoperasian Angkutan Daring
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, meminta pengelola angkutan berbasis daring berhenti beroperasi untuk sementara di kota tersebut. Selain dinilai tidak memiliki izin operasional, angkutan daring juga tidak sesuai dengan sejumlah aturan yang berlaku.
Keputusan tersebut tertuang dalam surat yang ditujukan ke sejumlah pemimpin angkutan berbasis daring di Kota Cirebon. Surat yang diterbitkan pada Rabu (6/9) kemarin ini ditandatangani Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis.
”Dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban Kota Cirebon, saudara (pemimpin angkutan daring) agar menghentikan kegiatannya sampai dengan perubahan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek,” ujar Kepala Dinas Perhubungan Kota Cirebon Atang Hasan.
Hal ini disampaikan di hadapan lebih 100 pengemudi angkot Kota Cirebon yang berunjuk rasa di kantor Dishub setempat, Rabu. Mereka juga memarkir puluhan angkot di halaman kantor Dishub. Aksi angkutan konvensional tersebut merupakan kali ketiga dalam sebulan terakhir.
Menurut Atang, keputusan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Permenhub Nomor 26 Tahun 2017, serta berita acara hasil dengar pendapat antara awak angkot dan DPRD Kota Cirebon pada 24 Agustus.
Kami juga bingung untuk menertibkan dan menunggu petunjuk dari Kemenhub.
Sekretaris Dishub Kota Cirebon Ujianto Wahyu mengatakan, sebenarnya sejak beberapa bulan lalu ketika angkutan berbasis daring beroperasi, pihaknya sudah mengirimkan surat dua kali kepada pelaku usaha angkutan daring. Angkutan daring diminta untuk mengurus izin operasional di Dishub Jabar.
Namun, hal itu tidak digubris. Apalagi, saat MA membatalkan 14 poin dari 72 pasal dalam Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 yang antara lain mengatur penerapan tarif batas atas dan tarif batas bawah, kuota armada, serta kepemilikan kendaraan dalam badan usaha.
”Angkutan daring merasa di atas angin saat itu. Kami juga bingung untuk menertibkan dan menunggu petunjuk dari Kemenhub,” ujar Ujianto.
Setelah berkonsultasi dengan Dishub Jabar dan Kemenhub, permenhub itu masih berlaku hingga November. Pemerintah daerah juga bisa melakukan operasi penertiban jika ada pengemudi angkutan yang menetapkan tarif sangat rendah atau sebaliknya sangat tinggi di luar peraturan itu. ”Untuk penertiban kami akan berkoordinasi dengan Kepolisian Resor Cirebon Kota,” ujarnya.
Sekretaris Organisasi Angkutan Darat Kota Cirebon Karsono mengapresiasi keputusan Pemkot untuk menghentikan pengoperasian angkutan berbasis daring. Penghentian tersebut sudah menjadi kesepakatan sejak rapat dengar pendapat Agustus lalu.
”Kenapa selama ini Pemkot membiarkan angkutan yang ilegal beroperasi, sedangkan kami yang mengikuti aturan, seperti menjalani uji kir, malah mengalami penurunan pendapatan drastis akibat persaingan dengan angkutan daring,” ujarnya.
Jumlah angkot yang beroperasi, menurut dia, hanya 600 unit, sementara angkutan daring lebih dari 2.000 unit. Dengan luas Kota Cirebon hanya 37 kilometer, persaingan memperebutkan penumpang sangat ketat.
Konflik antara angkutan konvensional dan daring pun sempat terjadi. Cirebon menjadi daerah yang mengalami kisruh transportasi tersebut setelah beberapa daerah, seperti Kota Bandung, Bekasi, Tangerang, dan Yogyakarta.