Grebeg, Wujud Pelestarian Tradisi Keraton Yogyakarta
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Upacara Grebeg Besar perayaan Idul Adha menjadi simbol rasa syukur Keraton Yogyakarta atas berkah dari Yang Mahakuasa sepanjang tahun ini. Grebeg besar yang digelar pada Sabtu (2/9) adalah tradisi untuk memperlihatkan rasa syukur itu.
Bagi kawula Keraton Yogyakarta, tujuh gunungan yang diarak berkeliling merupakan simbol rasa syukur kepada Tuhan yang dapat mendekatkan hubungan, baik antara manusia dan Tuhan maupun antarmanusia.
Ketujuh gunungan terdiri dari dua Gunungan Jaler serta masing-masing satu Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan Pepak, Gunungan Darat, dan Gunungan Pawuhan. Gunungan yang terdiri dari hasil bumi, yakni palawija, buah, sayuran, serta jajanan, ini diarak dan diperebutkan oleh warga di tiga tempat, yakni di Masjid Gedhe Kauman, Pura Pakualaman, serta Kepatihan Danurejan.
”Grebeg Besar merupakan upacara agung yang rutin dilakukan tiga tahun sekali saat hari raya Idul Fitri, Maulud Nabi, dan Idul Adha. Gunungan dengan bentuk mengerucut ke atas adalah simbol hablumminallah agar manusia diberi keselamatan oleh Tuhan,” tutur kerabat Keraton Yogyakarta, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat.
Gunungan dalam upacara grebeg melambangkan bahwa Raja Keraton Yogyakarta mengayomi rakyatnya untuk kemakmuran rakyat. Masyarakat percaya, jika mendapatkan isi gunungan, mereka akan memperoleh berkah dan kemakmuran.
Pelihara ”paugeran”
Melalui momentum Grebeg Besar, sejumlah warga Daerah Istimewa Yogyakarta berharap agar Sultan Hamengku Buwono X sebagai pengampu kebudayaan Keraton Yogyakarta dapat terus menjaga dan memelihara paugeran (aturan adat) di Keraton Yogyakarta.
Abdul Muhaimin, warga Kota Yogyakarta, ingin agar keistimewan Yogyakarta tetap terjaga melalui nilai-nilai tradisi yang tetap dijunjung Keraton Yogyakarta secara turun-menurun. Selain itu, dia turut mendoakan agar polemik internal terkait ahli waris takhta Keraton Yogyakarta dapat selesai. ”Saya sebagai warga akan terus mendoakan yang terbaik untuk Keraton Yogyakarta,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan putusan itu, MK membatalkan ketentuan yang mengharuskan gubernur dan wakil gubernur DI Yogyakarta dijabat oleh laki-laki. Implikasinya, ke depan, jabatan gubernur dan wakil gubernur DI Yogyakarta bisa diemban oleh perempuan.
Kondisi itu dinilai akan berpengaruh pada dinamika di internal Keraton Yogyakarta karena, berdasarkan UU Keistimewaan, raja Keraton Yogyakarta otomatis menjabat sebagai gubernur DI Yogyakarta. Terlebih, Sultan HB X tidak memiliki anak lelaki (Kompas, Sabtu 2/9).
Sementara itu, Asnawi (47), warga Kabupaten Bantul, berharap agar penerus takhta Keraton Yogyakarta tetap berpihak kepada rakyat kecil. ”Seperti para pendahulunya, siapa pun pemimpin Keraton Yogyakarta kelak harus memprioritaskan pemenuhan hak-hak pokok dari rakyatnya,” ujar Asnawi.
Menjaga tradisi
Kunjono Barjono (58), abdi dalem Keraton Yogyakarta, mengatakan, para abdi dalem akan tetap melaksanakan tugas serta memegang teguh prinsip keraton. ”Tradisi keraton harus tetap lestari, amanah berjalan dengan baik dan berguna bagi masyarakat secara menyeluruh,” katanya.
Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat yang merupakan adik dari Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menjamin nilai-nilai budaya sebagai basis identitas keistimewaan Yogyakarta akan tetap dijaga dan dilestarikan. Segala bentuk simbolisasi keraton dalam mengayomi dan memakmurkan rakyat juga akan terus diwujudkan dengan upaya nyata.
Pihaknya berharap rakyat Yogyakarta tetap tenang dan tidak terpengaruh dengan polemik penerus takhta Keraton Yogyakarta. ”Rakyat harus tetap kondusif karena pihak keraton akan terus berusaha mengayomi dan memakmurkan rakyat,” ujar Yudhaningrat.