1,5 Tahun Berlalu, Kematian Orangutan di Kutai Timur Belum Terungkap
Oleh
LUKAS ADI PRASETYA
·3 menit baca
SANGATTA, KOMPAS — Kasus kematian dua orangutan di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, sekitar 1,5 tahun lalu belum juga terungkap. Tidak ada keterangan dari saksi yang dapat ditindaklanjuti polisi. Namun, kasus belum akan ditutup karena batasan waktu kedaluwarsanya mencapai 12 tahun.
Beberapa pihak yakin kasus kematian dua orangutan jantan dewasa, awal Mei 2016, ini tidak wajar. Orangutan pertama mati mengapung di Sungai Sangatta. Berselang dua hari, orangutan kedua ditemukan terluka parah oleh warga Desa Kandolo. Orangutan yang di tubuhnya ditemukan lima peluru senapan angin ini mati tiga hari kemudian.
Direktur Operasional Centre for Orangutan Protection (COP) Ramadhani, Rabu (13/9), menyebutkan, kasus kematian satwa berstatus dilindungi ini adalah yang paling lama tidak terungkap. COP, yang melakukan otopsi dua orangutan itu, sejak awal yakin kematian dua satwa berstatus dilindungi tersebut tidak alami.
Orangutan kedua, yang beratnya 30 kilogram atau separuh dari berat ideal, ditemukan dalam kondisi kedua matanya buta. Orangutan, yang mengandalkan penglihatan untuk mencari makan ini, dipastikan kelaparan. Empat dari lima peluru baru ditemukan setelah diotopsi. Satu peluru di antaranya masuk ke tulang tengkorak bagian rongga mata kanan.
Orangutan pertama ditemukan mengapung dalam kondisi membusuk. Ada beberapa luka sayatan dan lebam yang diduga disebabkan benda tajam serta hantaman benda tumpul. Hasil otopsi, antara lain, menunjukkan, terapungnya paru-paru dan tidak ditemukan pasir atau kerikil di dalamnya. Artinya, orangutan sudah mati sebelum tercebur.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kutai Timur Ajun Komisaris Andika Dharma Sena mengatakan, kasus ini tidak dihentikan. ”Belum ada satu pun keterangan saksi yang bisa kami tindak lanjuti,” kata Andika.
Lebih dari 20 saksi sebenarnya telah dimintai keterangan. Pendekatan ke tokoh masyarakat untuk menggali informasi juga sudah dilakukan. Namun, tidak ada informasi yang dapat ditindaklanjuti. Tidak ada yang pernah melihat orangutan di sekitar lokasi penemuan, apalagi mendengar ada suara tembakan. Namun, polisi yakin ada saksi yang tahu tetapi tidak melapor.
Pendapat senada juga disampaikan Komandan Brigade Enggang Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah Kalimantan Lili Kardiansyah. Ia menyebut, keengganan saksi mata melapor kepada pihak berwajib memang biasa terjadi.
”Memang, untuk kasus orangutan di Kutai Timur ini terlalu lama tidak ada saksi yang angkat bicara. Ada sejumlah penyebab. Salah satunya kemungkinan karena saksi mendapat tekanan dari pihak tertentu. Kami yakin nanti ada informasi bisa ditindaklanjuti. Batas waktu kasus 12 tahun, cukup lama. Tetapi kita jangan lupa,” ujar Lili.
Ramadhani melanjutkan, ada beberapa hal yang menguatkan kesimpulan, terutama terkait orangutan yang ditemukan mati di sungai tersebut. Orangutan jantan itu mungkin berkelahi dengan jantan lainnya, tetapi kalah dan terluka. Namun, ia ragu kalau orangutan ini memilih ambruk ke sungai daripada ke daratan. Apalagi, orangutan tidak dapat berenang.
Pemerhati orangutan dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Yaya Rayadin, menyebutkan, ada kemungkinan lokasi penemuan orangutan berbeda dengan lokasi orangutan dibunuh. Membuang orangutan ke sungai, misalnya, menurut dia adalah cara termudah menghilangkan bukti fisik.