YOGYAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencanangkan, pada 2019 sebanyak 30 kabupaten dan kota bebas dari kawasan kumuh. Kota Yogyakarta menjadi salah satu kota yang ditargetkan bebas dari kawasan kumuh.
Namun, Pemerintah Kota Yogyakarta masih menghadapi sejumlah kendala untuk menuntaskan masalah permukiman kumuh. Salah satunya, pemerintah kota sulit mengontrol penambahan jumlah penduduk di kawasan kumuh.
”Tingkat partisipasi program keluarga berencana masyarakat di kawasan kumuh rendah. Pertumbuhan penduduk di wilayah kumuh jadi tidak terkontrol,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta, Edy Muhammad di kompleks Balai Kota Yogyakarta, Kamis (14/9).
Total kawasan kumuh di Kota Yogyakarta mencapai 5,44 persen atau sekitar 176,8 hektar dari luas wilayah Kota Yogyakarta yang mencapai 3.250 hektar. Akan tetapi, dari 14 kecamatan di Kota Yogyakarta, hanya Kecamatan Kraton yang dinilai sudah tidak memiliki kawasan kumuh.
Terdapat sembilan kecamatan di Kota Yogyakarta yang masing-masing memiliki luas wilayah kumuh lebih dari 15 hektar, yakni Kecamatan Danurejan, Gondokusuman, Jetis, Kotagede, Mantrijeron, Mergangsan, Ngampilan, Tegaljero, dan Umbulharjo.
Edy mengatakan, penuntasan masalah wilayah kumuh di sembilan kecamatan ini akan menggunakan dana alokasi dari Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Sementara itu, kawasan kumuh dengan rentang luas dari 5 hektar hingga 15 hektar ditangani oleh Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Terdapat dua kecamatan yang ditangani, yakni Kecamatan Wirobrajan dan Kecamatan Gedongtengen.
Untuk penanganan kawasan kumuh dengan luas di bawah 5 hektar menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Yogyakarta. Di Yogyakarta terdapat dua kecamatan yang punya wilayah kumuh dengan luas di bawah 5 hektar, yakni Kecamatan Pakualaman dan Gondomanan.
”Untuk penanganan kawasan kumuh, pemerintah pusat memberi target hingga awal 2020. Itu berlaku secara menyeluruh. Selain menghilangkan permukiman kumuh, pemerintah daerah juga harus menjamin akses sanitasi dan air bersih warga,” ujar Edy.
Kepala Bidang Perencanaan dan Program Sarana Prasarana dan Tata Ruang Bappeda Kota Yogyakarta Silvi Maynina kini gencar menyosialisasikan pembangunan hunian vertikal. Pasalnya, penataan rumah horizontal dinilai tidak memungkinkan akibat keterbatasan lahan.
”Mayoritas masyarakat belum terbiasa untuk tinggal di hunian vertikal. Mereka terbiasa tinggal di rumah yang ada halamannya, berbatasan dengan jalan, dan sebagainya. Kami tak henti melakukan sosialisasi sebelum mencanangkan program penataan permukiman vertikal,” kata Silvi.
Program penataan permukiman kumuh ini sudah dilakukan oleh pemerintah Yogyakarta di wilayah bantaran sungai, seperti di Kecamatan Ngampilan dan Kecamatan Tegalrejo. Permukiman di bantaran sungai tersebut sudah ditata dengan strategi konstruksi vertikal, menjauhi sungai, dan menghadap sungai.
Sanitasi
Terkait dengan sanitasi, Edy mengklaim seluruh wilayah Kota Yogyakarta sudah 100 persen memiliki akses sanitasi. Indikator hal ini adalah pihak pemerintah kota sudah tidak pernah menemukan kasus buang air besar sembarangan di wilayahnya.
”Tapi, masih ada beberapa jamban milik masyarakat yang masih harus dibenahi karena kami nilai kurang layak dan kurang aman,” ujar Edy.
Untuk ketersediaan air bersih, Edy mengatakan, 98 persen wilayah Kota Yogyakarta sudah mendapatkan akses air bersih karena ditopang kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtamarta.