Ditolak, Pungutan Saat Penambahan Saldo Uang Elektronik
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Masyarakat di Jawa Timur meminta Bank Indonesia tidak menerbitkan aturan pungutan tambahan ketika masyarakat mengisi saldo uang elektronik. Aturan yang masih dibahas Bank Indonesia itu berpotensi bertentangan dengan tiga undang-undang sekaligus tentang keuangan negara, pelayanan publik, dan perlindungan konsumen.
”Setiap aturan yang berpotensi melanggar undang-undang akan mengundang kegaduhan, kecaman, dan gugatan,” kata Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Jawa Timur Muhammad Said Utomo di Surabaya, Senin (18/9).
Said menegaskan, masyarakat tidak boleh ”dipaksa” bertransaksi secara tidak tunai memakai uang elektronik produk perbankan. Meskipun pemerintah, dalam hal ini BI, ingin menggencarkan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT), masyarakat tetap harus diberi pilihan bagi yang ingin bertransaksi secara tunai memakai uang pecahan rupiah.
”Sangat tidak masuk akal jika ada penolakan terhadap rakyat yang bertransaksi secara tunai, memakai rupiah, di dalam negeri dengan alasan transaksi harus tidak tunai,” kata Said. Jika hal itu terjadi, lalu apa manfaat UU Keuangan Negara yang menjamin kedaulatan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia?
Prinsip memasyarakatan transaksi tidak tunai untuk mengatasi waktu, korupsi, dan lain-lain sudah tepat. Namun, menjadi keliru saat masyarakat dipaksa. Apalagi, masyarakat yang ingin transaksi tidak tunai malah dibebani pungutan setiap tambah saldo.
Dalam konteks UU Pelayanan Publik dan UU Perlindungan Konsumen, masyarakat berhak diberi pilihan untuk menggunakan transaksi dengan uang tunai atau tidak tunai memakai kartu. Konsumen seharusnya dilayani dengan baik, bahkan yang kerap bertransaksi secara tidak tunai diberi insentif, misalnya rabat tarif atau poin undian berhadiah.
”Di jalan tol pun, kalau seluruh gerbang memberlakukan transaksi tidak tunai, itu menyalahi undang-undang. Masak sih konsumen membayar dengan rupiah ditolak?” ujar Said. Pengelola jalan tol tetap harus memberi pilihan kepada konsumen (pengguna) untuk membayar transaksi secara tunai dan tidak tunai.
Kondisi saat ini, yaitu sejumlah gerbang untuk transaksi tunai dan sejumlah gerbang tol otomatis (GTO), sudah tepat. Jangan seluruh gerbang dijadikan GTO. Jika ingin menggencarkan GNNT, sebagian besar gerbang dijadikan GTO. Sisakan satu atau dua gerbang untuk transaksi tunai.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Herry Trisaputra Zuna saat dihubungi terpisah mengatakan, pengelola tetap harus memberikan perhatian kepada pengguna prasarana berbayar tersebut yang masih ingin transaksi secara tunai. ”Pelayanan perlu tetap memberikan pilihan,” katanya.
Kalangan supir bus dan truk yang kerap menggunakan jalan tol di Jawa Timur untuk lalu lalang dengan tegas menolak rencana transaksi tidak tunai 100 persen di jalan tol. Apalagi, jika setiap penambahan saldo kartu uang elektronik dipungut biaya.
”Saya selalu bayar tunai di gerbang tol biarpun antre panjang. Pakai kartu elektronik itu ribet. Saldo habis harus diisi dan tidak semua tempat menyediakan jasa top up (tambah saldo). Apalagi, nanti kalau setiap top up kena biaya, ya, tambah bikin susah. Kalau lewat tol ribet, ya wis (sudah) lewat jalan biasa,” ujar Suparno, sopir truk ekspedisi dari Surabaya.
Pendapat senada dikemukakan Suwito Harjono, sopir bus Surabaya-Malang. Sopir kendaraan besar belum terbiasa bertransaksi tidak tunai. ”Kalau nanti seratus persen tidak tunai apakah itu tidak menyalahi aturan? Seharusnya konsumen jalan tol tetap diberi pilihan, dong,” katanya.