Kematian Belasan Penyu Resahkan Masyarakat Pangandaran
Oleh
·3 menit baca
PARIGI, KOMPAS — Kematian 11 penyu yang ditemukan di Pantai Legokjawa, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, membuat resah Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata Batu Hiu. Kematian penyu yang ditemukan pada 19 September 2017 itu diduga akibat terperangkap rawe senggol atau pancing dasar nelayan, yang kemudian sengaja membunuh penyu-penyu itu.
”Daya tarik wisata di Batu Hiu ini adalah atraksi penyu yang bermain-main di tengah gelombang laut. Namun, kalau sampai penyu punah, pemandangan seperti ini tak bisa dijumpai lagi dan kondisi ini akan berdampak kurang bagus bagi pariwisata di daerah ini. Dalam tiga tahun terakhir selalu ditemukan kematian penyu dengan cara seperti ini dan kali ini yang terbanyak jumlahnya,” kata Ketua Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata (Kompepar) Batu Hiu Jajat Sudrajat, di Pangandaran, Minggu (24/9).
Pantai Batu Hiu, Pangandaran, terletak sekitar 200 kilometer dari Kota Bandung. Adapun jarak antara Pantai Hiu dan Pantai Legokjawa lebih kurang 21 kilometer.
Penyu yang mati di kawasan Legokjawa itu terdiri dari tiga jenis, yakni penyu hijau, tempayan, dan penyu lekang. Di beberapa bagian tubuh penyu terdapat luka, termasuk ada yang terbelah di bagian cangkangnya.
Menurut Jajat, dalam tiga tahun terakhir, ada kecenderungan penurunan kunjungan wisatawan ke Pantai Batu Hiu. Jumlah kunjungan pada libur akhir pekan sekitar 10 bus, sebelumnya bisa mencapai lebih dari 20 bus.
”Belum lagi kini juga bermunculan obyek-obyek wisata baru di Pangandaran. Hal ini diduga turut berdampak pada kecenderungan penurunan kunjungan ke obyek wisata sungai atau laut yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Pangandaran, yakni Batu Hiu, Batu Karas, Green Canyon, Karapyak, dan Pantai Pangandaran,” tuturnya.
Jajat, yang juga aktivis Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan Legokjawa yang turut fokus melakukan penangkaran penyu, menduga kematian 11 penyu tersebut diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan kelompok nelayan dari luar Pangandaran. Mereka diperkirakan dari Tasikmalaya atau Garut, Jawa Barat.
Jajat menuturkan, nelayan di Legokjawa umumnya tidak lagi menggunakan rawe senggol. Mereka juga sudah paham bahwa penyu merupakan binatang purba dan langka yang dilindungi. Warga setempat yang dulunya menjual telur dan daging penyu kini tak lagi melakukannya.
Penyu bagi nelayan yang memburu ikan pari menggunakan rawe senggol dianggap sebagai hama. Ketika penyu memakan umpan dan terperangkap dalam pancing mereka, penyu itu diupayakan untuk segera lepas dari pancing. Namun, karena tak mau repot melepasnya, mereka memilih cara cepat dengan melukai atau membunuh penyu itu.
Jajat berharap instansi terkait segera meneliti penyebab kematian mengenaskan penyu-penyu tersebut, apakah memang karena terkena rawe senggol atau akibat penyebab yang lain. ”Dengan demikian, jika penyebab pasti kematian penyu itu sudah diketahui, dapat diambil langkah selanjutnya dengan tepat, termasuk upaya penegakan hukum. Sebab, dalam kondisi seperti saat ini, kita hanya bisa menduga-duga kematian penyu itu,” ujarnya.
Jajat juga menyayangkan, kejadian itu menimpa penyu dewasa atau produktif yang diiperkirakan sudah berusia puluhan, bahkan ratusan tahun.
Menurut Didin Saepudin, penangkar penyu di kawasan Batu Hiu, kejadian di Legokjawa juga terjadi di Batu Hiu pada 2014. Ketika itu, 10 penyu ditemukan mati mengenaskan di pantai. ”Waktu itu ditemukan ada kepala penyu, juga cangkangnya sampai terbelah, diduga penyu itu terkena rawe senggol. Sangat disayangkan sampai saat ini masih ada perilaku kejam terhadap penyu,” kata Didin.
Sosialisasi
Didin berharap pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya lebih gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat terkait binatang purba dan langka ini. ”Sebab, penyu hijau baru kawin dan bertelur di usia 20 tahun. Untuk penyu tempayan dan belimbing lebih lama lagi, sekitar di usia 30 tahun. Untuk menunggu penyu memasuki usia produktif, perlu waktu sampai puluhan tahun,” tutur Didin.
Menghadapi kasus seperti, Didin meminta dilakukan penegakan hukum secara tegas mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.