Masih Lemah, Penanganan Hukum Kebakaran Lahan di Jambi
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Penegakan hukum terhadap pembakar hutan dan lahan di Jambi masih lemah. Penegak hukum tak berhasil menyeret pelaku pembakaran lahan dari kalangan korporasi pada tahun 2015. Sementara tahun ini hanya 2 persen dari total areal terbakar yang ditangani kasusnya secara hukum.
Hingga September ini, berdasarkan data Satuan Tugas Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Jambi, kebakaran sudah mencapai 566 hektar.
Dari luas tersebut, Kepala Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Winarto mengatakan, penanganan hukum dilakukan atas 13 kasus kebakaran lahan seluas total 11,3 hektar.
Penanganan kasus terbanyak ada di Kabupaten Kerinci, sebanyak 4 kasus, tetapi hingga kini belum ada penetapan tersangka. Sementara di Tebo sudah ditangani 3 kasus, Batanghari 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus di Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi, dan Bungo.
”Total jumlah tersangka delapan orang,” ujar Winarto dalam diskusi terbatas tentang kebakaran hutan dan lahan yang dilaksanakan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Senin (25/9).
Tak satu pun kasus kebakaran hutan dan lahan menyeret korporasi meskipun 80 persen kebakaran hutan yang terjadi berada di areal konsesi perusahaan, yakni PT Alam Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo. Tahun ini, penangkapan pelaku pembakaran lahan di konsesi perusahaan semuanya adalah petani kecil.
Hal itu mengulang peristiwa kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Dari total 23 tersangka, 4 orang berasal dari kalangan korporasi. Kasus-kasus kebakaran lahan yang melibatkan tersangka korporasi itu berakhir semuanya dengan vonis bebas. Hal itu berbanding terbalik dengan penanganan kasus pembakaran lahan perseorangan yang mendapat vonis 1 tahun hingga 2 tahun penjara.
Mengenai hal itu, Winarto menjelaskan, penanganan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan tidak mudah. Faktornya adalah mengenakan pasal yang tepat. Hal yang lain, beban biaya pengusutan perkara yang sangat besar.
”Untuk satu kasus anggarannya Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per kasus. Padahal, untuk menangani satu perkara saja, tidak cukup Rp 100 juta,” ucap Winarto.
Hari Tani
Hari Senin ini, gabungan massa mengecam aparat penegak hukum atas lemahnya penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan. Selama ini, penegak hukum sangat mudah menyeret petani kecil terjerat hukum, tetapi cenderung membiarkan perusahaan ketika terjadi kebakaran di areal konsesinya. Pernyataan itu merujuk pada maraknya pembakaran lahan di konsesi PT ABT.
Dalam aksi itu, massa yang memperingati Hari Tani Nasional Ke-57 mengecam pembakaran dua pondok yang diklaim milik warga Suku Anak Dalam di Pangkalan Ranjau.
Koordinator Aliansi Gerakan Reforma Agraria Jambi Pauzan Fitra mengatakan, sejumlah karyawan membakar dua rumah tersebut pada Rabu pekan lalu. Esok harinya, karyawan perusahaan kembali mendatangi rumah yang sudah dibakar dengan tiga mobil, untuk mengambil seluruh sisa bangunan yang dibakar serta merusak tanaman cabai dan pisang di kebun.
Menurut dia, selama ini rumah dianggap sebagai harga diri orang Suku Anak Dalam. ”Membakar rumah berarti membakar harga dirinya,” ujar Pauzan.
Peristiwa pembakaran rumah warga Suku Anak Dalam, lanjutnya, terjadi selang dua hari dari pertemuan antara wakil perusahaan, masyarakat, serta pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Kota Jambi. Dalam pertemuan itu, semua pihak sepakat untuk segera mendorong pengembalian hutan ulayat Suku Anak Dalam, dan pihak KLHK akan mengadakan pertemuan kembali agar ada percepatan kebijakan pengakuan wilayah adat Suku Anak Dalam Pangkalan Ranjau.
Terkait dengan hal itu, juru bicara pengelola Hutan Harapan, Adam Aziz, membenarkan bahwa pihaknya membakar dua pondok di dalam hutan itu. Namun, ia menjelaskan, pondok yang dimaksud merupakan pondok-pondok yang baru dibangun dalam zona lindung hutan. Ada indikasi perambahan liar, dan pemilik pondok akan membuka lahan untuk perkebunan.
Sebelum membakar, lanjut Adam, pihaknya menemui warga untuk upaya persuasif. Mereka diminta untuk menghentikan aktivitasnya. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan aparat pemerintah.