UNGARAN, KOMPAS — Produksi kopi robusta dari sejumlah sentra perkebunan di Jawa Tengah anjlok hingga 40 persen. Kondisi ini terjadi akibat perubahan iklim sejak dua tahun terakhir. Di tengah situasi ini, petani tertolong kenaikan harga jual kopi.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Gunung Kelir, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Ngadiyanto, Selasa (26/9), menuturkan, panen kopi yang selesai awal September diakui masih rendah. Produktivitas tanaman kopi hanya berkisar 6 kuintal-7 kuintal per hektar. Padahal, jika kondisi cuaca baik, mampu dihasilkan hingga 1,2 ton per hektar. Bahkan, tanaman yang digarap intensif bisa menghasilkan 1,8 ton per hektar.
”Penurunan produksi terjadi selama dua tahun terakhir. Untungnya, kualitas kopi robusta masih terjaga. Hanya harga yang menjadi hiburan bagi petani kopi” ujar Ngadiyanto.
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jawa Tengah Mulyono Susilo menyatakan, saat kondisi cuaca baik, AEKI Jateng bisa mengekspor kopi kering dari sejumlah sentra perkebunan Jateng ke Amerika dan sebagian negara Eropa hingga 7.000 ton. Namun, karena panen turun, ekspor terakhir hanya 4.000 ton.
Di tengah situasai ini, harga kopi basah justru meningkat dibandingkan dengan panen-panen sebelumnya. Jika harga kopi basah di tingkat petani biasanya sekitar Rp 5.000 per kilogram (kg), kini harganya mencapai Rp 7.000 per kg. Adapun harga kopi kering yang sebelumnya rata-rata Rp 25.000 kini mencapai Rp 28.000 per kg.
Menurut Mulyono, kendati terjadi penurunan hasil panen, kopi dari kawasan Gunung Kelir tetap dicari pembeli dari luar negeri. Kualitas kopi robusta dari Gunung Kelir, Jambu, juga tidak kalah dengan kopi robusta hasil panen petani di lereng Pegunungan Muria di Jepara dan Pati.
Salah satu keunggulan kopi di kawasan Gunung Kelir ialah aroma kopi yang mengandung moka. Hal ini terpengaruh keberadaan perkebunan cokelat yang masih dalam pengawasan PT Perkebunan Nusantara IX Jawa Tengah. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Gunung Kelir di Kabupaten Semarang merupakan gabungan dari 16 kelompok tani kopi. Satu kelompok terdiri atas 25-40 petani kopi.
Ekspor
Ngadiyanto mengatakan, aroma moka pada kopi hasil panen petani menjadikan kopi Gunung Kelir sangat khas dan harganya terjaga. Bahkan, hampir 60 persen kopi dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Ekspor tidak dilakukan langsung oleh petani, tetapi ditangani para eksportir kopi di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.
”Panen tahun ini, saya masih menyimpan 3-4 ton kopi kering. Kopi ini akan diolah guna keperluan pemasaran di luar Jawa Tengah,” ujar Ngadiyanto.
Pendamping Kelompok Tani Rahayu IV Desa Jambu, Rosyid Muhlasin, menuturkan, petani kopi di Kabupaten Semarang tertolong dengan metode budidaya yang sudah mulai meninggalkan penggunaan pupuk kimia. Dengan menggunakan pupuk kotoran dari kandang ternak, ternyata daya tahan kopi lebih bagus dibandingkan tanaman kopi yang intensif dirawat di kawasan perkebunan.
”Kalau petani belum masuk pertanian organik dan masih melakukan perawatan dan pemupukan dengan bahan kimia, saya yakin panen bisa anjlok lebih dari 60 persen,” ujar Rosyid.