Konflik Merebak, Petani di Kalimantan Tengah Jadi Buruh di Tanah Sendiri
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PETANI di Kalimantan Tengah dinilai belum sejahtera. Maraknya konflik agraria di Kalimantan Tengah yang tak kunjung selesai membuat mereka menjadi buruh di lahannya sendiri.
Hal itu mengemuka pada aksi damai yang dilakukan Forum Suara Rakyat Kalimantan Tengah (FSRKT), yang terdiri dari puluhan mahasiswa dan pegiat lingkungan, seperti Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (Progress) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah. Mereka melakukan aksi tersebut untuk memperingati Hari Tani Nasional.
Koordinator Progress Kalimantan Tengah Kartika Sari mengatakan, konflik agraria terjadi di seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Sebagian besar konflik terjadi di wilayah konsesi milik perusahaan.
”Ini ironis. Ada yang terpaksa menjual tanahnya, ada yang dijual oknum-oknum tertentu, dan bahkan ada juga yang tidak menyadari kalau tanah mereka sudah diserobot perusahaan,” ungkap Tika, sapaan akrabnya, di sela-sela aksi di Palangkaraya, Senin (25/9).
Tika mengambil contoh di Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, tempat masyarakat dari beberapa desa melakukan aksi serupa di lokasi salah satu perusahaan sawit. Mereka menuntut agar perusahaan mengembalikan lahan mereka yang mereka nilai diserobot pihak perusahaan.
Contoh lain, ratusan warga Desa Ramang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, kehilangan pekerjaan karena lahan mereka seluas 550 hektar diduga diserobot perusahaan. Ironisnya, para pemilik baru menyadari lahannya hilang setelah penggusuran. (Kompas, Senin, 16 Januari 2017).
”Setelah konflik itu muncul, kehidupan petani tidak pernah normal. Ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang menjadi buruh, dan macam-macam,” kata Tika.
Setelah konflik itu muncul, kehidupan petani tidak pernah normal.
Konflik di lahan sawit
Dari data Walhi, pada 2005-2014 terdapat 265 kasus konflik agraria dengan total lahan sengketa mencapai 134.061 hektar di 14 kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. Sebagian besar konflik tersebut saat ini belum selesai, sedangkan selama 2015 terdapat 16 kasus konflik agraria dengan luas lahan sengketa mencapai 8.566 hektar. Sebesar 80 persen dari kasus-kasus tersebut terjadi di perkebunan sawit.
Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng juga mencatat, dari 2016 sampai sekarang ini terdapat 68 kasus konflik agraria di Kalimantan Tengah. Sebagian besar terjadi di Kotawaringin Timur dan sampai saat ini belum ada yang terselesaikan.
Penjabat Sementara Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Mugeni mengungkapkan, pemerintah selama ini berupaya untuk menyelesaikan dan mengantisipasi konflik di wilayah konsesi. Pemerintah selalu berupaya untuk menyelesaikan konflik dengan cara mediasi.
”Mediasi dilakukan saat masalah masih berada di kabupaten. Jadi, kami berharap bisa selesai dulu di sana, tetapi pemerintah provinsi tetap memantau dan memfasilitasi kedua pihak yang berkonflik,” kata Mugeni.
Selain konflik agraria, di peringatan Hari Tani Nasional Mugeni mengatakan, pihaknya saat ini juga fokus pada peningkatan kesejahteraan petani. Banyak aturan yang dibuat pemerintah pusat merugikan petani dan berdampak pada perekonomian Kalimantan Tengah.
”Banyak aturan larangan ekspor yang menyiksa petani juga. Itu sedang kami upayakan dan kami meminta pemerintah pusat untuk bisa melihat hal itu dan membuka lagi keran ekspor, baik karet maupun rotan,” ujar Mugeni.