YOGYAKARTA, KOMPAS — Komunitas pedagang kaki lima dan pedagang asongan di kawasan Malioboro sepakat untuk tidak beraktivitas selama satu hari penuh setiap weton Selasa Wage. Kesepakatan ini adalah bagian dari program Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penataan jalur pedestrian Malioboro.
Siklus weton merupakan kombinasi dari siklus tujuh hari penanggalan Masehi dengan siklus lima hari penanggalan Jawa. Siklus ini berulang setiap 35 hari. Artinya, setiap satu hari dalam 35 hari, tepatnya Selasa Wage, kawasan Malioboro terbebas dari aktivitas pedagang kaki lima (PKL).
Selama satu hari penuh pada Selasa (26/9), tidak ada satu PKL dan pedagang asongan pun yang berjualan di kawasan Malioboro. Selain para pedagang, becak dan delman juga tidak mencari penumpang di kawasan ini.
”Seperti mesin, kawasan Malioboro juga perlu didinginkan terus setelah bekerja penuh selama 24 jam dijejali PKL dan pedagang asongan,” kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi di sela kegiatan ”Reresik Malioboro” yang menjadi tema kegiatan pada Selasa Wage kali ini.
Dalam kegiatan ”Reresik Malioboro”, sedikitnya 1.300 PKL, pedagang asongan, kusir delman, serta sopir becak bergotong royong membersihkan jalur pedestrian Malioboro. Kegiatan ini mulai dilakukan sejak pukul 05.00 hingga pukul 08.00.
Heroe menyatakan, tujuan dilakukannya kegiatan ini untuk menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat yang sehari-hari mencari penghidupan dari kawasan Malioboro. Penataan kawasan yang merupakan ikon dari Kota Yogyakarta ini, lanjut Heroe, bukan hanya tanggung jawab pemerintah kota. ”Para pedagang harus menganggap diri mereka sebagai petani, sedangkan kawasan Malioboro adalah ladang atau sawah yang perlu terus dirawat dan dijaga sebagai sumber mata pencarian,” ucapnya.
Program yang baru berlangsung sekali ini dianggap sukses karena pelaksanaannya tidak mendapat penolakan dari para PKL. Diharapkan setelah kegiatan ini, PKL dapat lebih menjaga kebersihan dan ketertiban kawasan Malioboro.
Heroe menjanjikan keragaman tema dari kegiatan yang berlangsung selama 35 hari sekali ini. ”Jika kali ini tema kegiatan adalah bersih-bersih, tema selanjutnya mungkin bisa penghijauan jalur pedestrian. Yang jelas masyarakat harus tergugah untuk ikut menjaga keindahan Malioboro,” ujarnya.
Antusias
PKL di kawasan Malioboro antusias mengikuti kegiatan ”Reresik Malioboro” yang juga melibatkan para satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Kota Yogyakarta dan DI Yogyakarta serta masyarakat sekitar.
Emen (43), pedagang ”angkringan” yang biasa berjualan di depan kantor DPRD DI Yogyakarta mengaku tidak akan rugi meski tidak berdagang satu hari penuh. Dia justru berharap seusai kegiatan ini para pedagang dapat turut menjaga ketertiban dan kebersihan kawasan Malioboro.
”Kalau saya lihat, masih saja ada pedagang yang tidak tertib dalam membuang sampah. Semoga dengan ikut bersih-bersih, mereka bisa tergugah buat ikut menjaga Malioboro biar tetap bersih,” ujar Emen.
Secara terpisah, dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadja Mada, Suryanto, menilai, Pemerintah Kota Yogyakarta harus visioner dalam melakukan penataan wilayah Malioboro. Pasalnya, tanpa dukungan fasilitas umum yang memadai, kawasan Malioboro tetap akan menjadi kumuh apabila terus dipadati pengunjung.
”Konsep penataan juga harus dapat memprediksi jumlah kunjungan ke Malioboro 5-10 tahun ke depan. Jika terus terjadi peningkatan, fasilitas umum, seperti tong sampah dan toilet, juga harus memadai agar ketertiban tetap terjaga,” ujar Suryanto.