Pengemudi Angkutan Konvensional Palembang Minta Pengoperasian Angkutan Daring Dihentikan
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sekitar 200 pengemudi angkutan konvensional di Palembang berunjuk rasa di kantor Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Rabu (27/9), di Palembang. Mereka menuntut penutupan operasional angkutan berbasis daring karena dinilai merugikan dan tidak berizin.
Ada sekitar 26 paguyuban yang datang dalam unjuk rasa tersebut. Mereka gabungan dari pengemudi angkutan konvensional, seperti bus, angkutan kota, becak, dan taksi. Dalam unjuk rasa tersebut, mereka menuntut agar pemerintah bersikap tegas terhadap semakin maraknya angkutan berbasis daring di Palembang.
”Mereka (pengemudi angkutan berbasis daring) tidak memiliki izin dan tidak membayar pajak, tapi tetap dibebaskan untuk beroperasi,” ujar koordinator aksi, Syarifudin Lubis. Menurut Syarifudin, sejak hadir di kota Palembang, angkutan berbasis daring membuat pendapatan pengemudi angkutan konvensional menurun drastis. Sebelum ada angkutan berbasis daring, pendapatan bersih mereka Rp 70.000 per hari, saat ini pendapatan mereka menurun menjadi Rp 30.000 per hari.
Selain itu, pertumbuhan angkutan daring di Palembang juga sangat pesat. Bahkan, orang yang baru membeli mobil saja sudah bisa mendaftar untuk menjadi pengemudi angkutan daring. ”Hal ini tentu sangat merugikan bagi pengemudi angkutan konvensional yang sudah bersusah payah membayar pajak dan mengurus izin,” katanya.
Keluhan ini sudah berulang kali disampaikan kepada pemerintah daerah, termasuk anggota DPRD Sumatera Selatan. Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang jelas. ”Pengemudi angkutan konvensional semakin terdesak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup pun sangat sulit,” kata Syarifudin.
Ketua Dewan Pengurus Cabang Organda Palembang Sunir Hadi menerangkan, unjuk rasa ini dipicu maraknya angkutan berbasis daring tanpa pembatasan. Kini, jumlah angkutan berbasis daring di Palembang mencapai 5.000 angkutan, jauh lebih banyak dibandingkan dengan angkutan konvensional yang hanya 2.400 unit. ”Kondisi inilah yang membuat angkutan konvensional semakin sepi peminat,” ujarnya.
Sunir tidak memungkiri ada angkutan berbasis daring karena kemajuan teknologi. Namun, dia berharap agar pemerintah membuat aturan yang lebih ketat sehingga keberadaan angkutan daring tidak merugikan angkutan konvensional. ”Kami hanya membutuhkan keadilan,” katanya.
Karena itu, sampai aturan terkait dengan angkutan daring selesai, Sunir berharap operasional angkutan daring ditutup sementara. ”Ada beberapa kota yang sudah menutup kantor angkutan daring. Bukan tidak mungkin di Palembang hal itu bisa dilakukan,” ujar Sunir.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Selatan Nelson Firdaus mengatakan, mengenai permintaan pengunjuk rasa untuk menghentikan operasi angkutan berbasis daring, ujar Nelson, itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. ”Kami mencoba untuk mematuhi keputusan dari pemerintah pusat,” ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung menganulir 14 pasal dalam Peraturan Menteri (PM) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek. Berdasarkan peraturan, putusan MA baru berlaku 90 hari setelah diputuskan. Artinya, aturan itu baru berlaku per 1 November 2017. ”Kami harus mematuhi putusan yang ada,” ujar Nelson.
Selama menunggu keputusan dari pemerintah pusat, lanjut Nelson, pihaknya berharap semua pihak dapat menjaga kondisi transportasi dan keamanan di Palembang tetap kondusif. ”Jangan sampai karena konflik, masyarakat menjadi korban,” ucapnya.