Mogok Massal, Pengemudi Angkutan Konvensional di Makassar
Oleh
RENY SRI AYU
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Pengemudi angkutan konvensional kembali mendesak pemerintah membuat aturan jelas soal angkutan daring. Mereka berharap ada aturan soal kuota dan batas tarif atas dan bawah. Keberadaan angkutan daring diakui membuat pendapatan pengemudi angkutan konvensional menurun drastis hingga 80 persen.
Desakan pengemudi angkutan konvensional dilakukan dengan menggelar aksi unjuk rasa dan mogok massal, Kamis (28/9). Aksi unjuk rasa di antaranya dilakukan di bawah jembatan flyover, gedung DPRD Sulawesi Selatan, DPRD Kota Makassar, dan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Aksi juga dilakukan di beberapa titik yang kerap menjadi tempat berkumpul dan menjemput para pengemudi angkutan daring, di antaranya di sekolah.
Kekerasan sempat terjadi tatkala pengemudi angkutan konvensional merampas jaket milik pengemudi angkutan daring dan membakarnya. Di depan SMP Negeri 1 Makassar, seorang pengemudi ojek daring juga dipukul oleh pengemudi becak motor (bentor). Aksi unjuk rasa dilakukan gabungan pengemudi bentor, angkutan kota, dan ojek. Aksi ini menyebabkan sepanjang pagi hingga menjelang malam hampir tak ada angkutan kota yang beroperasi.
”Bukan saya tak terima ada angkutan online, tetapi mestinya diatur kuotanya. Sekarang di mana-mana ada ojek dan taksi online. Sejak mereka ramai, pendapatan saya jauh berkurang. Turunnya sampai 80 persen. Kami para pengemudi merasa kurang adil karena yang menjadi pengemudi ojek atau taksi online biasanya sudah punya kerjaan. Sementara orang seperti saya, jadi tukang bentor adalah satu-satunya sumber penghasilan,” kata Daeng Roa (45), pengemudi bentor yang setiap hari mangkal di pelabuhan penyeberangan Tumba Kayu Bangkoa.
Menurut Daeng Roa, sebelum ada angkutan daring, pendapatannya dari bentor berkisar Rp 80.000-100.000 per hari. Namun, sejak tahun lalu terus turun hingga tiga bulan terakhir pendapatannya paling banyak Rp 15.000-Rp 20.000 per hari. Padahal, dia punya tiga anak yang harus dihidupi.
Hal yang sama dikatakan Daeng Maming (43), pengemudi ojek di kawasan Kaluku Bodoa, Kecamatan Tallo. ”Sudah empat bulan saya menunggak pembayaran listrik dan air. Sebenarnya listrik di rumah saya sudah mau dicabut, tetapi saya memohon untuk diberi kesempatan. Sejak ojek online ramai, pedapatan saya jauh berkurang. Mestinya tarif angkutan online diatur, ada batasnya. Kami paham masyarakat butuh angkutan murah, tetapi jangan terlalu murah juga karena kami sulit bersaing,” katanya.
Terkait dengan aturan soal angkutan daring ini, Wali Kota Makassar M Ramdhan Pomanto mengatakan, pemerintah di daerah tidak bisa berbuat banyak karena aturan terkait dengan transportasi dan perhubungan dibuat oleh pusat.
”Kami berharap (pemerintah) pusat bisa menyelesaikan persoalan ini dengan lebih jelas agar tak terus jadi kisruh. Yang protes, yang diprotes, konsumen, semua adalah warga yang harus diakomodasi keinginannya. Sebaiknya semua pendapat didengar dan dibuat aturan yang bisa jadi jalan tengah dan solusi,” katanya.