BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Praktik perburuan liar tidak dapat dilepaskan dari praktik perdagangan organ satwa. Namun, hukuman yang diberikan kepada pelaku perburuan liar kerap terlalu ringan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan kurang dari 2 tahun.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Teguh Ismail, Kamis (28/9), di Bandar Lampung, mengatakan, dua pelaku perburuan harimau sumatera di Kabupaten Lampung Barat, Lampung, juga mendapatkan vonis ringan dari majelis hakim.
Pada Februari 2017, majelis hakim Pengadilan Negeri Liwa, Lampung Barat, menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun dan 8 bulan serta denda Rp 25 juta kepada Khairunnas (40) dan Mufthalana (40).
Kedua pelaku memiliki kulit dan tulang belulang seekor harimau yang diperkirakan berusia 3 tahun. Vonis itu lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 25 juta.
Menurut dia, vonis yang terlalu ringan dinilai belum mampu menimbulkan efek jera kepada pelaku perburuan satwa. Mereka bisa saja kembali melakukan perburuan setelah bebas dari penjara.
Meski begitu, kata Teguh, tidak mudah membongkar praktik perdagangan organ satwa dilindungi. Selama ini, pelaku yang tertangkap adalah eksekutor di lapangan yang memburu atau pedagang kecil. Sementara otak atau mafia besar perdagangan satwa liar sulit diungkap.
”Kami masih terus menyelidiki keterkaitan antarjaringan perdagangan satwa di wilayah sumatera,” kata Teguh di sela-sela acara pengembalian barang bukti kulit harimau sumatera dari Kejaksaan Negeri Lampung Barat.
Barang bukti berupa kulit harimau sumatera dikembalikan setelah ada ketetapan hukum. Kulit harimau itu diserahkan kepada negara untuk nantinya dapat digunakan sebagai bahan penelitian oleh lembaga tertentu yang mendapat izin.
Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Lampung Barat, Apdiansyah Topani, mengatakan, belum ada aturan tentang hukuman minimal bagi pelaku perburuan satwa dilindungi kerap membuat vonis yang dijatuhkan lebih ringan.
Menurut dia, tuntutan hukuman 2 tahun penjara didasarkan pada alat bukti yang hanya satu harimau. Dalam fakta persidangan juga terungkap, kedua pelaku merupakan warga biasa. Mereka juga tidak terindikasi terlibat dalam perdagangan satwa dilindungi skala besar. Mereka baru pertama kali melakukan perburuan liar.