DIKEPUNG belasan pabrik dan menjadi bekas tempat pembuangan sampah membuat kualitas air di Desa Sidorukun, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, jauh dari kesan sehat. Sejumlah penyakit seperti infeksi, demam berdarah, dermatitis, dan diare pernah mendera warganya. Namun, kini air di Desa Sidorukun berubah menjadi pengisi periuk rezeki.
Jumat (15/9) siang, Suli Astuti (40), Ketua Ketua RW VI Desa Sidorukun, misalnya, sibuk memberi makan ikan lele di kolam yang terbuat dari terpal. Setelah itu, dia menyirami tanaman hidroponik yang tertata rapi di depan rumah.
Penanaman hidroponik dan budidaya ikan lele mulai dilakukan warga Sidorukun sejak empat tahun terakhir. Dulunya, desa yang dihuni oleh 1.128 keluarga itu menjadi tempat pembuangan sampah. Lingkungan menjadi amat kotor dan air di daerah itu tercemar. ”Jika masuk musim kemarau, air terasa asin karena terpapar air laut yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah warga,” ujar Suli.
Karena itu, warga berinisiatif mengelola limbah agar tidak terus mencemari lingkungan. Keinginan itu mendapat sambutan dari perusahaan yang ada di sekitar desa tersebut. Akhirnya, pada tahun 2013, Desa Sidorukun mendapatkan bantuan berupa instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dari PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO).
PT PHE WMO membangun tiga titik IPAL berkapasitas total 12.800 liter. Air dari limbah pabrik itu bisa mengaliri lima rukun tetangga. Instalasi air dari IPAL dialirkan di sepanjang depan rumah warga yang juga digunakan sebagai jalan umum. ”Kualitas air sumur juga membaik sejak air limbah dikelola IPAL,” kata Suli.
Head of Human Resources Operation and Community Development Relation East Java PT PHE WMO Ulika Trijoga mengatakan, bantuan IPAL diberikan karena sumber mata air warga tercemar. Sebanyak 235 sumur warga tercemar bakteri E coli akibat tinggal di dekat tempat pembuangan sampah. Bahkan, lima warga pernah terjangkit demam berdarah, 116 warga terkena dermatitis, dan 33 orang terkena diare akibat lingkungan yang kotor.
Air dari IPAL dimanfaatkan warga untuk mencuci, bercocok tanam, dan budidaya ikan lele. Ismawati (40), warga lainnya, mengatakan, dirinya menanam tanaman hidroponik, seperti kangkung, selada, dan bayam, di depan rumah yang dilalui jaringan IPAL. Hasilnya, dia bisa menghemat pengeluaran untuk belanja sayur hingga Rp 200.000 per bulan.
Pada awalnya, menanam dengan metode hidroponik merupakan hal baru bagi perempuan lulusan sekolah menengah atas itu. Selama ini, dia dan warga lainnya hanya menanam di pot. ”Sayang jika ada sumber air bersih, tetapi tidak dimanfaatkan. Kami lalu berinisiatif mengembangkan tanaman produktif agar air bersih dari IPAL bisa memberikan nilai lebih,” ujarnya.
Selain untuk tanaman hidroponik, kehadiran IPAL juga untuk membuat green house. Tempat menanam yang ditutup plastik berukuran 2 meter x 5 meter itu pada mulanya merupakan tempat sampah. Namun, sejak ada IPAL, warga mengubahnya menjadi tempat untuk menanam sayur dan kolam ikan lele. ”Green house dikelola oleh kelompok yang setiap bulan bisa mendapat keuntungan hingga Rp 2 juta,” ucap Ismawati.
Kepala Desa Sidorukun Markan Hendarsa mengatakan, masuknya air bersih yang melimpah dari IPAL mendorong warga membudidayakan ikan lele. Dua lokasi tempat pembuangan sampah berukuran 50 meter persegi dimanfaatkan 16 orang untuk membudidayakan ikan lele. Kolam dibuat dengan terpal, sedangkan airnya dari IPAL. ”Warga juga mengembangkan keripik dari kulit lele agar mendapatkan nilai tambah,” lanjutnya.
Selama dua tahun terakhir, kelompok tersebut sudah menghasilkan tambahan penghasilan sekitar Rp 2,5 juta tiap empat bulan dari panen lele. Kini, mereka mulai mengembangkan pembibitan ikan lele agar pengembangannya tidak tergantung dari daerah lain.
”Makin luas jangkauan IPAL, makin banyak warga yang merasakan langsung manfaat menjaga lingkungan yang bersih dan sehat,” ujarnya.