SEMARANG, KOMPAS — Sejak dikucurkan tahun 2015, dana desa yang merupakan bantuan anggaran untuk pengembangan desa dari pemerintah pusat kini mulai menjerat kepala desa di Jawa Tengah. Tercatat 25 kepala desa saat ini menjalani pemeriksaan oleh Inspektorat Wilayah Jawa Tengah ataupun aparat penegak hukum lain. Untuk itu, perangkat desa kini harus lebih berhati-hati mengelola dana desa.
Bendahara Desa Ngaringan, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Hardiono saat dihubungi, Jumat (6/10), mengatakan, kucuran dana desa memang diterima semakin besar. Tahun 2015, misalnya, dana desa hanya sekitar Rp 250 juta. Jumlah ini naik menjadi Rp 550 juta pada 2016, kemudian melonjak pada 2016 menjadi Rp 770 juta.
”Secara umum, pola pengelolaan dana desa sudah ada panduannya. Dana desa mengacu sistem keuangan desa yang profesional dan transparan. Tiap tanggal 10 bulan berjalan, kami harus menyelesaikan surat pertanggungjawaban supaya anggaran lanjutan dapat cair. Jika pengelolaannya buruk, memang taruhannya kepala desa bisa masuk penjara,” ujar Hardiyono.
Terkait pemeriksaan sejumlah kepala desa di Jateng, secara terpisah Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Kependudukan, dan Catatan Sipil (Permadesdukcapil) Jateng Sudaryanto menyampaikan, pengawasan terhadap penggunaan dana desa sudah berlapis.
”Para kades yang diperiksa ini memang ada dugaan sementara terindikasi penyelewengan dana desa, baik dari segi pemanfaatan maupun rendahnya pencapaian program sarana dan prasarana. Tetapi harap dicatat, jumlah desa yang bermasalah masih kecil, hanya kurang dari 5 persen dari jumlah desa di Jateng sebanyak 7.809 desa,” ujar Sudaryanto.
Dia belum dapat merinci besaran anggaran dana desa yang diselewengkan karena semua masih dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan pihak berwenang. Dari 25 kepala desa yang terindikasi tidak beres menggunakan anggaran dana desa, 15 orang memiliki tingkat kesalahan cukup berat.
Beberapa temuan penyelewengan hasil pemeriksaan oleh aparat penegak hukum ataupun Badan Pemeriksa Keuangan yang sudah jelas meliputi adanya kegiatan fiktif, yakni dananya dicairkan, tetapi tidak ada pembangunan atau kegiatan fisik dari program itu secara riil.
Kemudian, ditemukan mark up harga, tidak sesuai antara besarnya riil belanja barang dan jumlah yang tercantum di nota. Ada pula mark up jumlah dan kuantitas belanja barang yang fiktif, tidak ada laporan lanjutan atas pertanggungjawaban serta ditemukannya penggunaan anggaran untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Menurut Kepala Bidang Pengembangan Kawasan dan Kerja Sama Desa Dinas Permadesdukcapil Jateng Didik Haryadi, tidak tertibnya penggunaan anggaran desa bisa juga karena adanya kenaikan dana yang diterima desa setiap tahun. Dana besar itu memerlukan aparat desa yang mampu, disiplin, dan tegas untuk mengelola dana dengan terprogram, transparan, dan mencegah penyalahgunaannya.
”Rendahnya sumber daya manusia dalam pengelolaan dana desa bisa memicu masalah. Oleh karena itu, pemenuhan tenaga pendamping yang sumbernya berkualitas, pendidikan minimal sarjana, harus segera terpenuhi. Saat ini, tenaga pendamping baru 60 persen yang terpenuhi,” kata Didik.
Jumlah dana desa yang dikucurkan ke 7.809 desa di Jateng terus meningkat. Tahun 2015, nilai totalnya Rp 2,2 triliun. Jumlah ini menjadi Rp 5,002 triliun (2016) dan melonjak menjadi sebesar Rp 6,3 triliun (2017) sehingga per desa mendapat kucuran dana desa berkisar Rp 750 juta hingga Rp 800 juta.