Melestarikan Batik Banyumas
Ratusan siswa-siswi SMAN 1 Sokaraja di Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, berdiri menghadap bentangan kain sepanjang 135 meter. Aroma malam mendidih di atas puluhan wajan menerpa hidung. Mereka mulai mencelupkan kuas ke larutan malam, lalu menggoreskan di atas kain seturut motif yang disepakati tiap perwakilan kelompok kelas.
Beragam motif terlukis di bentangan kain mori itu. Ada yang membuat motif bunga dan daun. Ada motif hewan seperti cicak, burung garuda, kupu-kupu. Siswa lain menggambar bintang, awan, telapak tangan, kipas dan aksara Jawa.
Setelah motif terbentuk, mereka pun mencelupkan sebilah bambu, yang disayat ujungnya ke dalam pewarna. Mereka menciprat-cipratkan warna itu ke bentangan kain bermotif tersebut. Noktah-noktah warna sedikit demi-sedikit menutup warna putih kain. Warna merah, biru, merah muda, oranye, ungu, abu-abu, hijau, dan kuning menyatu.
"Kami membuat batik motif garuda, karena melambangkan burung yang gagah dan bebas terbang seperti kami bebas berekspresi," kata Renita (17), siswi kelas XII IPS 3, Jumat (29/9).
Di sekitar burung, Renita bersama lima temannya, Milenia (17), Mutiara (17), Mila (17), Devi (17), dan Setianing (17), menambahkan motif bunga mawar serta kipas, untuk menambah keindahan dan memberi kesan kelembutan. "Membuatnya tidak susah. Caranya tinggal digambar motifnya, lalu diciprat-cipratkan pewarna," kata Milenia.
Tidak jauh dari kelompok itu, ada pula Hamsiah (17) dan Faisal (16) dari kelas XI IPA 1. Mereka menggambar motif batik berupa rumpun pohon bambu yang dihiasi dengan bercak merah serupa darah. "Bambu menjadi senjata para pahlawan dulu saat berperang melawan penjajah. Bambu jadi lambang perjuangan dan darah menunjukkan betapa besarnya pengorbanan para pejuang," kata Hamsiah.
Di sisi lain kain, Faisal menggambarkan motif aneka tanaman, bunga, dedaunan, dan kupu-kupu. "Ini melambangkan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya," ujar Faisal.
Dalam kegiatan Pesona Batik Smaraja 2017 ini, selain ratusan siswa yang sedang membatik dengan teknik ciprat, ada pula puluhan siswa yang duduk berkelompok di aula sekolah. Mereka asyik melukis motif batik di payung kertas, sesuai dengan kreasi dan imajinasi masing-masing. Kegiatan yang digelar untuk menyambut Hari Batik Nasional pada 2 Oktober itu bertema "Lestarikan Batik sebagai Perekat Bangsa".
Batik banyumas
Kepala SMAN 1 Sokaraja Edi Prasetyo mengemukakan, sekolahnya menerapkan pendidikan berbasis keunggulan lokal batik sejak tahun ajaran 2007/2008, karena batik banyumas merupakan salah satu keunggulan lokal di Kecamatan Sokaraja. "Di Sokaraja selain ada getuk goreng, juga dikenal dengan batiknya. Namun, banyak generasi muda yang tidak suka membatik. Oleh karena itu, kami mendorong siswa untuk mencintai dan menyukai batik," kata Edi.
Untuk melestarikan batik, kata Edi, lomba membatik digelar setiap tahun. "Pemenang lomba desain batik akan dibuatkan canting cap dan batiknya dipakai oleh guru dan karyawan, agar motif batik terus berkembang dan bervariasi," katanya.
Heru Santoso, guru membatik SMAN 1 Sokaraja, menyebutkan pula, salah satu kekhasan batik banyumas adalah corak warnanya yang cenderung coklat tanah dan hitam. "Hal ini mencerminkan corak kehidupan masyarakat Banyumas yang sebagian besar adalah petani. Motif yang khas adalah motif lumbon atau daun lumbu atau tanaman talas," kata Heru.
Menurut Heru, tanaman lumbu atau talas ini dapat tumbuh di mana-mana dan bermanfaat dari ujung daun sampai umbinya. "Daunnya dapat dijadikan makanan yang disebut buntil. Batangnya dapat disayur dan umbinya juga dapat dijadikan seriping atau keripik dan juga getuk," paparnya.
Heru menambahkan, pelajaran membatik di sekolah itu dituangkan dalam mata pelajaran kewirausahaan dan keterampilan, yang diberikan selama 90 menit dalam satu minggu. Materinya, antara lain teknik dasar membatik, perkenalan batik tulis dan batik cap, teknik mewarna batik mulai dari teknik celup, colet, dan juga ciprat, juga gradasi.
"Siswa kelas X diajari membuat batik tulis di kain berukuran satu meter persegi, biasanya untuk taplak meja. Pada semester II, mereka diajari membuat batik cap di kain berukuran dua meter persegi. Dengan membuat batik yang akan dipakai, mereka membuatnya dengan serius dan tidak asal-asalan," kata Heru.
Sebagai media membatik, tambah Heru, para siswa juga diajari untuk membatik tidak hanya di atas kain. Mereka diajari membatik pada kerajinan bambu, payung kertas, dan juga sandal hotel. "Setidaknya hal itu dapat membuka wawasan siswa untuk dapat mengembangkan batik," ujarnya.
Di Kabupaten Banyumas, kata heru, terdapat 40-50 kelompok usaha batik banyumas dengan jumlah perajin batik mencapai 1.000 orang. Dengan pembelajaran dan praktik membatik di sekolah, setidaknya para siswa dapat memahami bagaimana cara membatik dan menumbuhkan kecintaan pada batik. Dari sana, harapan melestarikan batik banyumas pun dapat terjaga.
(MEGANDIKA WICAKSONO)