logo Kompas.id
NusantaraSegera Tata Pengembangan...
Iklan

Segera Tata Pengembangan Rempah

Oleh
· 3 menit baca

AMBON, KOMPAS — Pengembangan pala dan cengkeh di Maluku perlu ditata mulai dari budidaya hingga pemasaran. Produktivitas pala dan cengkeh semakin berkurang dan harga pun cenderung tidak menguntungkan petani. Pemerintah perlu hadir mengatasi kondisi ini.Demikian disampaikan pengajar pada Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Herman Rehatta, Senin (9/10), di Ambon. Dikatakan, secara nasional, produktivitas pala dalam 1 hektar berkisar 1,8-2,5 ton per tahun dan cengkeh 1,8-2 ton per tahun. Di Maluku, produktivitas kedua komoditas itu kurang dari separuh produktivitas nasional.Penyebabnya adalah kesalahan sistem budidaya mulai dari pemilihan bibit, pemupukan, hingga pemeliharaan. Pada banyak kasus pala, bibit yang dibagikan tidak melalui seleksi yang ketat. Rasio bibit pala jantan dan betina yang seharusnya 1 berbanding 8 menjadi 6 berbanding 3.Penyebab lain adalah perubahan iklim. Biasanya ada siklus dua tahun sekali saat produksi pala dan cengkeh maksimal. Dalam 15 tahun terakhir, siklus itu bergeser hingga tiga atau empat tahun sekali. Pada 2015, produksi pala di Maluku anjlok tinggal 40 persen akibat kekeringan. Sementara pascapanen, lanjutnya, petani masih menggunakan cara tradisional, seperti menjemur pala dan cengkeh di tanah. Padahal, hal itu bisa dilakukan dengan cara pengasapan. Kualitas yang buruk juga berpengaruh pada harga.Oleh karena itu, ia berharap pemerintah hadir membantu petani dari pengadaan bibit hingga pemasaran. Saat ini harga pala dan cengkeh masing masing Rp 70.000 dan Rp 95.000 per kilogram. "Pemerintah harus menetapkan standar harga tertinggi dan terendah," katanya.Ketua Dewan Rempah Maluku Djalaluddin Salampessy mengingatkan agar anggaran dikelola secara baik. Pengalaman buruk pernah terjadi di Maluku, yakni anggaran daerah untuk pengembangan pala di Kepulauan Banda yang dikorupsi. "Pemda harus terbuka," katanya. Sementara itu, petani lada di Kalimantan Barat juga khawatir lada akan terpuruk seperti karet. Petani lada di Kabupaten Bengkayang, Nikolaus (60), Senin, mengatakan, harga lada beberapa tahun terakhir ini cenderung turun. Lada putih normalnya Rp 150.000 per kilogram, sekarang Rp 70.000 per kg. Lada hitam dari Rp 70.000-Rp 90.000 per kg menjadi Rp 50.000 per kg. "Harga lada cenderung turun. Kami khawatir kondisinya akan seperti karet yang terus terpuruk. Saat sudah terpuruk, harga sulit untuk dipulihkan lagi," kata Nikolaus. Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman juga menilai kondisi komoditas lada ada kecenderungan mengarah seperti kondisi karet. Apalagi, tahun depan diprediksi pertumbuhan ekonomi negara maju yang menjadi tujuan ekspor lada cenderung stagnan. Maka, tidak menutup kemungkinan permintaan di pasar internasional akan lesu. Menurut Wagub Kalbar Christiandy Sanjaya, lada termasuk komoditas unggulan Kalbar. "Kami sudah memfasilitasi bibit untuk petani, termasuk pembinaan dan pemasaran. Kami terus berupaya mengembangkan karena dibutuhkan pasar dunia," ucapnya. (FRN/ESA)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000