SEMARANG, KOMPAS — Masyarakat di perdesaan di sejumlah daerah di Jawa Tengah diminta berhati-hati seiring maraknya penawaran investasi yang memberikan keuntungan lebih dari 100 persen hanya dalam tempo 1-2 bulan. Penawaran investasi bodong itu tidak hanya menyasar orang kaya, tetapi juga orang dengan penghasilan pas-pasan di perdesaan.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional 3 Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Bambang Kiswanto, Rabu (11/10), di Semarang, menjelaskan, penawaran investasi bodong tidak lagi hanya menyasar warga di perkotaan. Penduduk di perdesaan kini juga menjadi sasaran empuk bagi pelaku dan pemain investasi bodong. Modusnya, mereka menawarkan keuntungan besar dan cepat bagi siapa pun yang bersedia untuk menyetor modal.
”Kedok investasi bodong ini bermacam-macam, mulai dari penawaran umrah murah sampai setor uang dengan keuntungan cepat. Jika tidak hati-hati, pemberi modal atau warga yang tidak memahami pola investasi akan mengalami kerugian besar,” ujar Bambang.
Penawaran investasi bodong disinyalir berkembang di sejumlah desa di Purbalingga, Cilacap, Banyumas, Kudus, Pati, dan Grobogan. Warga diminta setor terlebih dahulu sebagai modal awal, misalnya, Rp 1 juta. Pada bulan berikutnya, dia memperoleh pengembalian lebih besar, yakni Rp 2 juta. Ada pula warga yang diminta menyetor investasi Rp 2 juta. Satu bulan kemudian, ia mendapatkan pengembalian Rp 4 juta.
Setelah itu, saat warga menyetor uang dalam jumlah yang lebih besar, tidak ada lagi pengembalian uang beserta keuntungan. Pihak yang sebelumnya menawarkan investasi hilang. Uang yang hilang ini kadang-kadang dikumpulkan oleh sejumlah warga.
Menurut Bambang, OJK juga telah membatalkan praktik investasi bodong oleh lembaga UN Swissindo yang berkedok penjualan Voucher M1 di Jawa Tengah. Dengan memiliki atau membeli Voucher M1 seharga Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per lembar, si pemegang voucer itu dapat mencairkan dana di Bank Mandiri.
Potensi kerugian yang bakal ditimbulkan, apabila praktik penjualan voucer itu tidak digagalkan, diperkirakan bisa mencapai Rp 27,9 miliar.
Menurut Yayan di Bagian Humas OJK Regional 3 Jateng dan DIY, lembaga atau pelaku investasi bodong dapat berupa koperasi, jasa keuangan, ataupun lembaga lainnya. Mengingat pelaku investasi bodong itu tidak memiliki izin, OJK tidak dapat menindaknya. Dalam kasus semacam itu, penanganan dilakukan oleh tim satgas investasi, yang meliputi polisi, jaksa, dan perwakilan instansi pemerintah daerah.