PONTIANAK, KOMPAS — Pemerintah diminta mempercepat pengakuan terhadap hutan adat. Hal itu mendesak dilakukan karena tanpa pengakuan atas hutan adat menimbulkan berbagai masalah, antara lain tingginya deforestasi, munculnya konflik agraria, dan munculnya kantong kemiskinan di wilayah masyarakat adat karena mereka kehilangan aset.
Ketua Koalisi Hutan Adat untuk Kesejahteraan Kalimantan Barat Matheus Pilin, Rabu (11/10), mengatakan, dampak tak kunjung adanya pengukuhan hutan adat di Kalbar membuat laju deforestasi tinggi, yakni 166.000 hektar per tahun. Padahal, jika ada pengukuhan hutan adat, masyarakat adat memiliki kearifan lokal untuk menjaga keseimbangan alam.
”Jika dilihat kondisi faktual tata ruang Kalbar, dari 14,9 juta hektar luas daratan Kalbar, luas untuk kegiatan industri baik perkebunan, usaha perkebunan, dan pertambangan mencapai 13,6 juta hektar. Sebagian besar dikelola untuk kegiatan industri. Sisa lahan yang tidak terbebani izin hanya 1,8 juta hektar. Itulah wilayah kelola yang diakses masyarakat,” kata Pilin.
Belum adanya pengakuan hutan adat juga membuat konflik masyarakat adat dengan perusahaan sering kali terjadi sejak 1970-an. Konflik itu terjadi karena masyarakat adat mempertahankan wilayah kelola mereka. Bahkan, kasus konflik antara masyarakat adat dengan salah satu korporasi di Kabupaten Bengkayang ada yang saat ini masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung.
Tak hanya itu, belum adanya pengakuan hutan adat membuat masyarakat adat kehilangan aset mereka, terutama tanah dan sumber daya alam. Lahan banyak dikonversi untuk usaha korporasi. Akibatnya, kantong-kantong kemiskinan berada di wilayah masyarakat adat sebagai akibat kehilangan aset tersebut.
”Angka kemiskinan Kalbar 2017 sebesar 7,88 persen dari 4,5 juta total penduduk Kalbar. Angka itu tertinggi se-Kalimantan. Dari 1.963 total desa di Kalbar, kantong kemiskinan ada di 1.717 desa atau 87,4 persen dari total desa di Kalbar,” ujar Pilin.
Padahal, jika ada pengakuan hutan adat, masalah-masalah itu bisa diatasi. Masyarakat memiliki kearifan lokal untuk menjaga alam sehingga deforestasi tidak akan terjadi. Hutan adalah sumber daya alam yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat yang terintegrasi secara holistik dengan kehidupan masyarakat adat baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan spiritual.
Namun, dari 12 kabupaten di Kalbar, baru Kabupaten Sekadau yang mengesahkan hutan adat seluas 40,5 hektar. Sementara itu, kabupaten lainnya belum ada yang mengarah pada pengukuhan hutan adat.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar Marius Marcellus menuturkan, permasalahan terkait hutan adat karena tidak ada peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah yang dibahas di DPRD Kalbar belum tuntas karena muncul pemahaman yang berbeda di antara anggota DPRD. Hutan adat dinilai hanya milik salah satu etnis. Padahal, tidak demikian sebenarnya.
Rancangan peraturan daerah yang dibahas di DPRD Kalbar belum tuntas karena muncul pemahaman yang berbeda di antara anggota DPRD. Hutan adat dinilai hanya milik salah satu etnis. Padahal, tidak demikian sebenarnya.
Regulasi penetapan hutan adat di kabupaten harus dikeluarkan para bupati. Para bupati agak enggan untuk menetapkan itu. Marcellus menduga banyak bupati tidak mau mengesahkan hutan adat karena ada hutan adat yang terletak pada area penggunaan lain (APL) yang direncanakan untuk kegiatan lain atau mungkin sudah telanjur diberikan izin untuk kegiatan ekonomi tertentu.