BALIKPAPAN, KOMPAS — Meski terbalut waswas, ribuan pengemudi taksi daring juga ojek daring berbasis aplikasi di Balikpapan, Kalimantan Timur, tetap narik penumpang secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak berani memakai atribut demi alasan keamanan. Mereka juga beresiko terkena razia polisi.
”Tiga hari terakhir ini, saya tetap nyetir dan terima order. Sebagian besar teman-teman juga begitu. Tidak ada pilihan lain karena ini, kan, juga untuk urusan perut. Kalau kena razia (polisi), ya apes,” ujar Aji Indro, salah satu pengemudi taksi daring di Balikpapan, Jumat (13/10).
Hari Rabu (11/10), sekitar 1.500 pengemudi taksi konvensional dan angkot di Balikpapan menggelar unjuk rasa. Mereka menyerukan penolakan terhadap tiga taksi daring berbasis aplikasi, yakni Uber, Grab, dan Go-Car. Tuntutannya, aplikasi harus ditutup.
Selang sehari, Kamis (12/10), giliran ratusan pengemudi taksi daring bersama pengemudi ojek daring berkumpul menyatakan menolak penutupan. Pemerintah Kota Balikpapan mengambil kebijakan menutup operasional kantor ketiga perusahaan aplikasi tersebut sejak Rabu. Alasannya, karena mereka belum memenuhi izin angkutan.
Tidak hanya itu, karena Polres Balikpapan juga menyatakan akan menindak pengemudi taksi daring yang nekat menerima order dan menjemput penumpang. Mengacu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pengemudi taksi daring bisa mendapat sanksi denda Rp 250.000.
Diperkirakan 4.000 pengemudi taksi daring di Balikpapan dan lebih dari 7.000 pengemudi ojek daring sejak pertama kali aplikasi tersebut masuk sekitar setahun lalu.
”Kami sekarang semakin berbagi informasi sesama pengemudi. Ada beberapa grup Whatsapp (WA) untuk itu. Saat ini kami dihadang aturan-aturan dan mereka yang belum bisa berubah mengikuti teknologi,” ujar Leo, pengemudi taksi daring di Balikpapan.
Ketika berkumpul di salah satu kawasan perumahan di Balikpapan, seorang pengemudi taksi daring mendatangi teman-temannya. ”Kalau saya jemput ke sana, aman enggak ya,” ujar pengemudi tersebut sambil menyebut salah satu restoran di kawasan Balikpapan Baru.
Mereka harus berhati-hati karena bisa terkena razia polisi atau juga ”jebakan” dari pengemudi taksi konvensional ataupun angkot. ”Mereka bisa saja order kami dan melakukan kekerasan terhadap kami. Beberapa teman sudah mendapat ancaman,” kata Aji.
Kondisi itu ikut berimbas pada sepinya orderan. Sejak pagi hingga petang hari ini, Aji baru mendapat tiga order jadi hanya separuh dari biasanya. ”Masyarakat pun ikut takut memesan,” ujar Aji.