SEMARANG, KOMPAS — Peringatan Pertempuran Lima Hari digelar di kawasan Tugu Muda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (14/10) malam. Acara tersebut diharapkan tidak dipandang sebatas seremoni, tetapi warga Semarang diharapkan dapat memetik nilai perjuangan yang tertanam dalam peristiwa itu.
Pertempuran Lima Hari berlangsung di Semarang pada 14-18 Oktober 1945. Pertempuran itu diawali kabar diracunnya tandon air di Jalan Wungkal, Semarang, oleh pihak Jepang. Kariadi, yang merupakan dokter muda yang juga Kepala Laboratorium Rumah Sakit Umum (RSU) Purusara (sekarang RSUP dr Kariadi, Semarang), lalu hendak mengeceknya.
Dalam perjalanan, dr Kariadi dihadang tentara Jepang dan tewas tertembak. Hal tersebut kemudian memantik pertempuran antara tentara Jepang dan warga Semarang. Diperkirakan sekitar 2.000 orang tewas, baik dari Indonesia maupun pihak Jepang, dalam pertempuran tersebut.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menekankan, peringatan Pertempuran Lima Hari bukan sekadar seremoni. ”Ada hal-hal yang bisa dipetik dari peristiwa itu, antara lain semangat warga Semarang untuk melawan Jepang. Dengan persenjataan terbatas, mereka memiliki daya juang untuk mempertahankan kemerdekaan,” kata Hendrar.
Lebih lanjut, Hendrar berharap, nilai-nilai tersebut dapat diresapi dan dimaknai oleh masyarakat untuk mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pahlawan. Menurut dia, terlibat aktif dalam membangun Kota Semarang merupakan hal yang bisa dilakukan seluruh elemen masyarakat.
Kemarin, ratusan warga Semarang juga antusias menyaksikan peringatan Pertempuran Lima Hari. Salah satunya, Muhammad Ali (19), warga Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang. ”Yang paling ditunggu tentu aksi teatrikal. Mudah-mudahan semangat juang pahlawan bisa diteruskan generasi muda saat ini,” katanya.