Usaha Agribisnis Hendaknya Menghormati Hak Masyarakat
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Usaha agribisnis, khususnya perkebunan, hendaknya menghormati hak masyarakat. Selama ini, aspek penghormatan belum diperhatikan dengan terbukti adanya berbagai permasalahan, misalnya kriminalisasi terhadap warga dan belum terpenuhinya hak-hak masyarakat. Tidak heran apabila masyarakat terperangkap dalam kemiskinan karena kehilangan aset.
Direktur Link-AR Borneo Agus Sutomo yang mengadvokasi masalah sosial dan lingkungan, Senin (16/10), mengatakan, berdasarkan pengamatan di lapangan, selama ini terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakat terutama masyarakat adat. ”Sebagai contoh, kriminalisasi kepada masyarakat oleh korporasi. Kami mencatat pada Juni 2016-Juni 2017 ada 105 warga yang dikriminalisasi,” ujar Sutomo.
Kriminalisasi biasanya terjadi ketika warga ingin mempertahankan tanahnya. Tidak jarang, masyarakat harus berurusan dengan hukum karena dipersalahkan. Padahal, mereka mempertahankan hak mereka, yakni tanah. ”Kalaupun ada ganti rugi dari perusahaan terhadap tanah masyarakat, bukan berarti masalahnya selesai. Dalam proses ganti rugi tanah warga, dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan, diciptakanlah suatu kondisi semacam menjebak masyarakat untuk menyerahkan lahannya kepada korporasi. Kompensasinya pun tidak memadai,” ungkap Sutomo.
Akhirnya, masyarakat kehilangan tanahnya dan menjadi buruh di perkebunan. Upah mereka pun tidak layak. Dengan kondisi itu mereka terjebak dalam kemiskinan. Berdasarkan catatan Kompas, masyarakat kehilangan aset berupa tanah dan sumber daya alam di dalamnya. Kemiskinan di Kalbar pada 2017 pun mencapai 7,88 persen dari 4,5 juta total penduduk Kalbar. Angka itu tertinggi se-Kalimantan. Dari 1.963 total desa di Kalbar, kantong kemiskinan ada di 1.717 desa atau 87,4 persen dari total desa di Kalbar.
Sutomo menjelaskan, sistem kemitraan perusahaan dengan masyarakat yang diterapkan saat ini buktinya tidak menciptakan ekonomi yang semakin baik. Banyak warga yang tidak mendapatkan hak yang layak dari sistem itu. Selain itu, masyarakat juga kehilangan hak mereka atas lingkungan yang layak. Akhir-akhir ini, di beberapa daerah terjadi bencana banjir. Bahkan, banjir itu bisa dikatakan terparah yang pernah terjadi selama sepuluh tahun terakhir, misalnya banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, akhir Agustus.
Permasalahan usaha yang berbasis lahan itu menjadi keprihatinan di sejumlah negara Asia Tenggara. Pekan lalu, masalah itu dibahas dalam Konferensi Agribisnis dan Hak Asasi Manusia. Saat ini, banyak pihak di tingkat lokal, nasional, dan internasional prihatin atas perampasan tanah dan perusakan lingkungan terkait ekspansi agribisnis, khususnya di wilayah Asia Tenggara.
Dalam konferensi itu, ujar Sutomo, bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Myanmar mengatakan, tidak adanya pengakuan hak-hak atas tanah masyarakat merupakan sumber perampasan tanah oleh agribisnis. Masyarakat menderita karena ekspansi sejumlah perusahaan agribisnis. Lebih lanjut, Sutomo mengatakan, supaya pelanggaran terhadap hak masyarakat tidak terjadi lagi, pemerintah hendaknya berpihak kepada masyarakat untuk melindunginya. Pemerintah jangan hanya memandang investasi dari sisi pendapatan.
Staf Ahli Gubernur Kalbar Bidang Hukum, Politik, dan Pemerintahan M Aminuddin saat pekan lalu menghadiri Konferensi Agribisnis dan Hak Asasi Manusia mengatakan, penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak hanya kewajiban negara. Pelaku usaha juga bertanggung jawab atas hal itu.