SLEMAN, KOMPAS — Kerusakan sebagian jalur evakuasi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi salah satu kendala dalam upaya mitigasi bencana erupsi gunung tersebut. Kerusakan terutama terjadi karena jalur evakuasi itu menjadi tempat lalu lintas truk pengangkut pasir dan batu hasil penambangan di lereng Merapi.
”Ada beberapa titik jalur evakuasi di Sleman yang perlu dievaluasi karena mengalami kerusakan,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Krido Suprayitno di sela-sela pelaksanaan Geladi Penanganan Darurat Bencana Erupsi Gunung Merapi 2017, Rabu (18/10) di Sleman.
Krido menjelaskan, dalam kondisi normal, jalur evakuasi di lereng Gunung Merapi memang menjadi jalur transportasi bagi masyarakat. Namun, jalur evakuasi tersebut seharusnya tidak dipakai untuk lalu lintas truk pengangkut pasir dan batu hasil penambangan. Sebab, lalu lalang truk-truk dengan muatan berat itu bakal merusak jalur evakuasi.
”Jalur evakuasi seharusnya tidak tumpang tindih dengan jalur untuk kendaraan pengangkut hasil penambangan,” kata Krido. Hal itu agar kondisi jalur evakuasi tetap terjaga dan tidak cepat rusak sehingga sewaktu-waktu bisa dilalui masyarakat apabila bencana erupsi Merapi terjadi.
Kepala Seksi Mitigasi Bencana BPBD Kabupaten Sleman Djokolelana mengatakan, status jalur evakuasi Merapi di Sleman terdiri dari beberapa jenis, yakni jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan desa. Menurut dia, jalur evakuasi yang mengalami kerusakan itu kebanyakan berstatus sebagai jalan desa. ”Kalau yang berstatus jalan provinsi dan jalan kabupaten, kondisinya relatif bagus,” katanya.
Djokolelana menambahkan, jalur evakuasi yang rusak itu tersebar di sejumlah kecamatan di Sleman, yakni Cangkringan, Turi, dan Pakem. Dia mengakui, kerusakan jalur evakuasi itu antara lain karena lalu lintas truk pengangkut pasir dan batu. ”Jadi, belum semua jalur evakuasi dari titik kumpul ke barak pengungsian itu tersambung dengan baik. Masih ada penggal-penggal jalur evakuasi yang rusak dan yang paling banyak ada di Kecamatan Cangkringan,” katanya.
Menurut Djokolelana, BPBD Kabupaten Sleman sebenarnya sudah mendorong agar ada pemisahan antara jalur evakuasi dan jalur tambang. Dengan pemisahan itu, truk-truk pengangkut pasir dan batu tidak akan melewati jalur evakuasi sehingga kondisi jalur tersebut bisa lebih terjaga.
Namun, upaya pemisahan itu tidak bisa dilakukan di seluruh wilayah lereng Merapi karena keterbatasan jalan yang ada. ”Kalau tidak ada alternatif jalan, truk-truk pasir itu, ya, akhirnya lewat jalur evakuasi juga,” ujarnya.
Djokolelana memaparkan, BPBD Kabupaten Sleman juga terus mendorong agar jalur evakuasi yang rusak segera diperbaiki. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mengajak masyarakat bergotong royong memperbaiki jalur evakuasi itu. ”Kami membina masyarakat untuk memperbaiki jalur evakuasi yang ada. Jadi kami memfasilitasi materialnya, lalu masyarakat gotong royong melakukan perbaikan,” katanya.
Masalah lain yang berpotensi menghambat upaya mitigasi bencana erupsi Merapi adalah pendirian bangunan permanen, antara lain berupa bangunan kastil untuk obyek wisata di kawasan rawan bencana (KRB) III Gunung Merapi di Sleman. KRB III merupakan kawasan yang sering terkena awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu pijar, dan hujan abu apabila Merapi mengalami erupsi.
Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun menyatakan, di wilayah KRB III seharusnya tidak boleh didirikan bangunan permanen. Oleh karena itu, ia menyebut, keberadaan obyek wisata tersebut menyalahi aturan. ”Itu merupakan pelanggaran dan kami sedang memprosesnya,” ujarnya.