KUPANG, KOMPAS — Sistem pertanian intensif hemat air sebagai upaya adaptasi diklaim berhasil memberikan hasil panen berlipat pada demplot di Tarus dan Baumata, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Diharapkan sistem tersebut bisa direplikasi dan diperluas penerapannya di daerah-daerah lain.
Demikian hal yang mengemuka dari acara panen demplot yang dihadiri Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Sabtu (21/10) di Tarus. Demplot tersebut merupakan proyek kerja sama antara Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan tim dari Fakultas Teknik Pertanian Universitas Gadjah Mada (FTP UGM).
Dengan menggunakan sistem intensifikasi sawah (system of rice intensification/SRI), lahan seluas 0,1 hektar milik Yanes Sain pada panen musim tanam kedua lalu berhasil mendapatkan sekitar 1,2 ton gabah. Demplot di Tarus menggunakan tanah milik Yanes seluas 0,05 hektar pada musim tanam pertama dan dinaikkan menjadi 0,1 hektar pada musim tanam kedua.
Menggunakan sistem SRI, menurut Yanes, hasilnya berlipat jika dibandingkan dengan cara yang biasa mereka lakukan. Hal itu dikatakan Yanes seusai upacara simbolik pemotongan padi oleh Gubernur NTT didampingi sejumlah pejabat dari ICCTF.
Hadir pada panen tersebut Direktur Eksekutif ICCTF Tonny Wagey serta Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana Bappenas Rochmad Supriyadi.
Yanes mengklaim, sistem SRI yang diperkenalkan tim FTP UGM juga hemat pupuk karena hanya satu kali diberi pupuk organik pada awal penanaman. Selain itu, dalam sistem SRI hanya dibutuhkan satu benih dalam satu lubang, menggunakan benih tunggal, benih muda, tanam dangkal, dan jarak tanam lebar, sekitar 30 sentimeter. Adapun pada sistem konvensional, setiap lubang diisi lima hingga enam benih.
”Dari satu benih tersebut bisa menjadi 60 anakan. Kalau tanam biasa, itu hanya 20-30 anakan,” ujar Murtiningrum dari FTP UGM. Sementara menurut Yanes, satu benih bisa menghasilkan maksimal sampai 120 anakan.
Menurut Murtiningrum, dengan air tergenang, oksigen yang masuk ke dalam tanah kurang, sementara kalau air sedikit, oksigen masih bisa masuk ke dalam tanah sehingga reaksinya merupakan reaksi oksidasi. Dengan sistem ini, lanjutnya, emisi gas metana (CH4) berkurang. Namun, belum didapatkan angka pasti karena masih perlu perbaikan metodologi.
Milik petani
Gubernur NTT mengatakan, demplot ini bisa dikatakan sukses kalau bisa menjadi milik petani sendiri. Untuk itu, dibutuhkan proses pendampingan yang sistemik agar pola pikir (mind set) petani bisa berubah.
”Para petani pasti gelisah. Mereka baru percaya kalau ada bukti,” ujar Frans Lebu Raya.
Ia menambahkan, petani tidak mau menerapkan sistem SRI karena pada bulan pertama benih seolah-olah tidak tumbuh sebab belum muncul ke permukaan air. Menurut Murtiningrum, tanaman baru tampak pada usia lebih dari 30 hari.
Dalam pidatonya, Frans Lebu Raya menyebutkan, petani tidak mau ikut demplot karena takut gagal sebab tanaman tak terlihat tumbuh.
”Kalau gagal, siapa yang bertanggung jawab,” ucap Bayu Dwi Apri Nugroho dari FTP UGM.
Selain itu, menanam dengan sistem SRI membutuhkan ketekunan karena harus lebih sering menyiangi untuk membuang gulma dibandingkan dengan sistem tanam konvensional.
Menurut dia, sistem ini dipandang tepat untuk NTT yang selama ini dikenal sebagai daerah kering. Meski dikenal sebagai daerah kering, NTT masuk dalam 15 besar penghasil beras nasional, ujar Frans Lebu Raya.
Sementara Rochmad Supriyadi mengatakan, proyek percontohan ini akan dijadikan program lintas sektoral yang masuk ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di Desa Baomata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang.
”Kami membuat dua demplot dengan kondisi alam yang berbeda. Tarus ada di dekat pantai, sementara Baomata berada di gunung,” ujar Bayu.
Tarus memiliki infrastruktur irigasi yang lebih memadai dibandingkan Desa Baomata. Kandungan nitrogen dan bahan organik pada tanah di Tarus juga lebih tinggi dibandingkan Baomata. Baomata juga mengalami iklim ekstrem.
Tonny Wagey menjelaskan, ICCTF saat ini memiliki 31 proyek yang mendapat pendanaan dari Badan Pembangunan International Amerika Serikat (USAID) yang terkait aksi mitigasi dan adaptasi. Bantuan pendanaan tersebut berjumlah 5 juta dollar AS.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.