BERTELANJANG kaki. Dua belas pemuda usia 14-19 tahun yang terbagi dalam dua tim beradu strategi, ketangkasan, dan kekompakan untuk menjebol gawang lawan. Bukan bola bundar nan halus yang digiring dan ditendang, melainkan buah durian yang keras serta tajam durinya. Lecet di kaki tidak mengurangi semangat dan kelincahan para pendekar pencak silat Pagar Nusa Nahdlatul Ulama untuk menjuarai Turnamen Sepak Bola Duren di Pondok Pesantren Al-Hasani, Kebumen.
Meski buah durian yang dipakai sudah direndam air dan cukup masak, duri-durinya masih cukup tajam dan keras untuk kulit kaki. Hal itu ditunjukkan dengan pecahnya dua bola lampu yang dihantamkan ke durian tersebut sebelum pertandingan dimulai.
Laga final antara tim merah dan tim hitam di lapangan berukuran sekitar 10 meter x 20 meter itu berlangsung sengit. Setidaknya 4 buah durian hancur digunakan dalam pertandingan dua babak yang masing-masing berdurasi 10 menit itu.
Debu pasir beterbangan di lapangan ber-paving block itu setiap kali terjadi pergumulan perebutan durian. Jatuh bangun para pendekar mempertahankan gawangnya, hingga akhirnya tim hitam yang dipimpin Khotim Fauzi (18) menang dengan skor 3-0 atas tim merah.
”Tadi pas main tidak sakit. Paling saat istirahat nanti baru terasa sakit. Saya berani main karena rasanya asyik dan menantang,” kata Fauzi seusai menjuarai laga tersebut saat diliput Kompas, 14 Mei silam.
Turnamen tersebut digelar sejak 12 Mei lalu dan diikuti 96 pendekar se-Kabupaten Kebumen yang, antara lain, berasal dari Kecamatan Alian, Kebumen, Kutowinangun, dan Bulus Pesantren. Turnamen itu memperebutkan Piala Ketua Umum Pagar Nusa HM Nabil Haroen.
Anggota baru
Pada rangkaian laga final tersebut juga digelar pengesahan 96 anggota baru Pagar Nusa, sekaligus ditampilkan sejumlah atraksi pencak silat. Atraksi aneka jurus, sabung, atau tanding satu lawan satu, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata berupa golok dan bambu, hingga atraksi berjalan di bara api serta berguling di duri pun disajikan.
Setelah selesai bertanding sepak bola durian, para pendekar melepas baju. Mereka satu per satu berguling di atas daun salak sepanjang 2 meter yang pada batangnya terdapat ribuan duri tajam dengan ukuran 2-5 sentimeter. Sejumlah duri pun tampak putus dan tertancap di tubuh para pendekar. Selain itu, ada pula atraksi ketahanan tubuh yang disayat dengan pedang samurai.
”Saat berguling di atas duri dan berjalan di atas api, rasanya seperti gatal-gatal saja. Yang penting, yakin bisa atas nama Allah,” kata Solehudin (19), salah satu pendekar dari tim merah yang meskipun kalah di laga final, tetap tampak ceria.
Ketua Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia Cabang Kebumen Gus Hary Al Hasani yang juga pendamping pencak silat Pagar Nusa di Pondok Pesantren Al-Hasani mengatakan, turnamen sepak bola rutin dilakukan setiap tahun dengan menggunakan bola api dari sabut kelapa. Namun, tahun ini diganti dengan sepak bola durian yang sekaligus memiliki pesan moral untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
”Sekarang banyak yang mengusik NKRI. Sepak bola memakai durian ini artinya jangan pernah jadi duri bagi NKRI karena jika jadi duri di NKRI, warga Pagar Nusa siap melawan,” tutur Gus Hary.
Sekarang banyak yang mengusik NKRI. Sepak bola memakai durian ini artinya jangan pernah jadi duri bagi NKRI karena jika jadi duri di NKRI, warga Pagar Nusa siap melawan.
Ia menyebutkan, rangkaian kegiatan tersebut juga menjadi sarana untuk melestarikan pencak silat. Santri dibekali diri untuk menjaga diri, sekaligus membela NKRI. Dengan kemampuan yang dimiliki, lanjut Hary, santri pun diajak untuk tidak sombong dan tetap setia kepada Nahdlatul Ulama dan NKRI.
Ketua Umum Pagar Nusa HM Nabil Haroen menyampaikan, anak muda zaman sekarang sangat rentan disusupi atau dipengaruhi paham radikal yang mengancam Pancasila dan NKRI. ”Ciri-ciri mereka yang terpengaruh paham radikal adalah mudah menyalahkan orang lain atau mengafir-ngafirkan,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Nabil, para santri dan terutama pendekar pencak silat Pagar Nusa se-Nusantara yang saat ini mencapai 3 juta orang ditanamkan nilai cinta Tanah Air dan toleransi terhadap keberagaman yang ada.
Pencak silat kemudian menjadi salah satu cara mengaktualisasikan diri dan mengembangkan diri secara positif. ”Slogan kami adalah di atas lawan, di bawah kawan. Maksudnya, di atas panggung, di atas podium, di atas matras, kita berlomba-lomba, tapi setelah keluar dari matras dan panggung, kita semua kawan,” tutur Nabil.
Semangat cinta Tanah Air juga ditunjukkan dengan yel-yel yang diteriakkan penuh semangat setiap kali berkumpul atau mengawali acara. ”Siapa kita? – Pagar Nusa!”, ”Pagar Nusa... – Jaya!”, ”NU... – Indonesia!”, ”NKRI... – Harga Mati!”, ”Pendekar... – Siap! 86!”