SEMARANG, KOMPAS — Kisruh gula petani semestinya tidak terjadi jika pemerintah melakukan survei mendalam mengenai biaya produksi gula kristal di petani. Jika penataan harga gula betul-betul bertujuan menciptakan stabilitas ekonomi, semestinya pemerintah menerapkan falsafah Jer Basuki Mawa Beya.
”Artinya, dalam upaya mencegah inflasi juga menciptakan stabilitas terkait komoditas gula, ya, pemerintah harus siap menanggung biaya yang timbul supaya tujuan itutercapai. Tidak bisa produsen harus menanggung kerugian atas kebijakan yang bukan kewenangan mereka,” kata pengamat pertanian yang juga dosen Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah, Prof Ir Sony Heru Priyanto, saat dihubungi dari Semarang, Kamis (26/10).
Sony Heru mengatakan, jika pengaturan pembelian gula hanya oleh Perum Bulog bertujuan menjaga harga di tingkat konsumen murah, pemerintah harus menanggung biaya yang muncul. Sebagai contoh, pembelian oleh Bulog Rp 9.700 per kilogram, sementara petani menghendaki gula kristal mereka dibeli Rp 11.000 per kilogram, pemerintah perlu mencari solusi terbaiknya.
Caranya, pemerintah melakukan survei untuk mengetahui biaya produksi gula kristal di tingkat petani. Jika biaya produksi gula di tingkat petani sebesar Rp 10.000 per kilogram, wajar sekiranya petani selaku produsen menjual Rp 11.000 per kilogram.
Dengan cara ini, pemerintah tinggal menanggung biaya Rp 1.300 per kilogram, yang merupakan selisih dari harga pembelian Bulog sebesar Rp 9.700 per kilogram dengan harga yang dikehendaki petani. Selisih harga itu adalah subsidi pemerintah ke petani sebagai kompensasi. Dengan cara ini, petani tidak lagi rugi besar, sementara tujuan pemerintah menjaga stabilitias ekonomi serta mencegah inflasi juga tercapai.
Sony Heru menyatakan, jika petani tidak bisa menentukan harga jual gula, hal ini aneh. Selama ini produsen menetapkan harga. Penentuan harga minyak atau air mineral, misalnya, selalu dilakukan produsen dengan mempertimbangkan biaya produksi dan kemampuan konsumen.
Sekretaris Jenderal DPN Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsyn mengemukakan, kisruh tata niaga gula justru bersumber dari pemerintah. APTRI telah memberikan rekomendasi terkait gula petani dalam rembuk nasional di bidang kedaulatan pangan belum lama ini.
APTRI meminta pemerintah memihak petani secara nyata. Meski gula kristal petani boleh dijual bebas, mengingat ketatnya regulasi dan keberadaan tim Satgas Pangan, penjualan gula secara bebas dapat membuat seolah-olah pelakunya melakukan kejahatan pencurian.
Dalam kondisi sekarang, menurut Nur Khabsyn, petani hanya bisa menjual gula dalam jumlah yang kecil supaya pedagang kecil bisa turut membelinya.
Jika petani atau pabrik gula menjual dalam jumlah besar, dikhawatirkan banyak pedagang takut. Pedagang besar tidak mau membeli karena khawatir terhadap Satgas Pangan, yang bisa melaporkan pedagang besar ke aparat penegak hukum atas dugaan praktik penimbunan.
”Petani tebu akan terus mendukung upaya pemerintah dalam mencapai swadaya gula. Namun, tolong, berikan petani celah supaya bisa sejahtera agar tidak beralih ke tanaman lain,” ujar Nur Khabsyn.