AMBON, KOMPAS — Sagu sebagai makanan lokal mulai ditinggalkan kebanyakan generasi muda di Maluku. Selain persepsi keliru yang menganggap sagu sebagai makanan inferior, redupnya pamor sagu juga disebabkan kebijakan pemerintah yang lebih menonjolkan pengembangan padi, jagung, dan kedelai.
Demikian pendapat Wardis Girsang, pengajar pada Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon, Senin (6/11). Wardis mendalami budidaya sagu dan diversifikasi sagu ke dalam berbagai aneka penganan khas Maluku.
”Sebagian anak muda menganggap sagu sebagai makanan orang desa, sedangkan beras adalah makanan orang kota. Beras dianggap lebih bergengsi. Persepsi semacam ini yang membuat sagu semakin ditinggalkan,” ujarnya.
Sebagian anak muda menganggap sagu sebagai makanan orang desa, sedangkan beras adalah makanan orang kota. Beras dianggap lebih bergengsi. Persepsi semacam ini yang membuat sagu semakin ditinggalkan.
Padahal, menurut dia, kandungan gizi di dalam sagu tidak kalah dengan beras. Unsur karbohidrat, misalnya, kandungan di dalam sagu tak beda jauh dengan beras, yakni 84 gram pada setiap 100 gram beras atau sagu. Unsur lain di dalam beras adalah gula dan protein yang tidak dimiliki sagu. Kini, banyak negara, seperti Jepang dan Malaysia, mengekspor sagu dari Indonesia. Sagu dijadikan bahan dasar produksi mi.
Selain dipersepsi sebagai makan ”kelas dua”, redupnya pamor sagu juga disebabkan program pemerintah yang mengabaikan pengembangan sagu. Di sejumlah tempat di Maluku, hutan sagu dibabat lalu dijadikan areal persawahan demi ambisi pemerintah mewujudkan swasembada pangan yang hanya diukur dari produksi padi, jagung, dan kedelai.
Dari hasil penelitian internal Fakultas Pertanian Unpatti, kata Girsang, pada tahun 2012, populasi sagu di Maluku mencapai 63.000 hektar. Hingga tahun ini, diperkirakan sekitar 25 persen dari jumlah tersebut telah beralih fungsi. Kebanyakan dipakai untuk areal tanaman padi, jagung, kedelai, dan kelapa sawit.
Kekurangan sagu adalah baru bisa dipanen setelah berusia sembilan tahun. Satu batang pohon sagu bisa menghasilkan sekitar 200 kilogram tepung kering.
Namun, sagu merupakan tanaman yang bisa menyimpan air dan meregenerasi dirinya sendiri. Sementara untuk 1 kilogram padi butuh air sekitar 4.500 liter.
Diversifikasi pangan
Pieter (20), mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Ambon, menuturkan, sejak kecil, kedua orangtuanya yang berlatar belakang pegawai negeri sipil membiasakan dirinya makan nasi. ”Di rumah kami hanya bapa dan mama yang bisa makan sagu,” katanya. Sagu yang dimaksud adalah sagu dalam bentuk lempangan yang rasanya hambar.
Namun, Pieter mengaku doyan makan roti atau kue kering yang terbuat dari bahan tepung sagu. Penganan itu biasanya dicampur kenari, gula merah, dan aneka rempah. ”Banyak anak muda yang datang beli di sini,” ujar Ita Hatu (45), penjual penganan dari sagu di Pasar Mardika, Kota Ambon.
Sementara itu, Kepala Seksi Konsumsi dan Penganekaragaman Pangan Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Maluku Nuzla Diponegoro menyebutkan, pemerintah mendorong diversifikasi pangan dengan tujuan mendorong konsumsi penganan dengan bahan dasar sagu. Ada buku panduan pengolahan pangan lokal yang disebar ke kelompok usaha kecil.
Nuzla mengakui, konsumsi sagu di Maluku terus menurun. Namun, mereka tidak memiliki data tentang tingkat konsumsi tersebut. Generasi yang lahir sejak akhir 1990-an menjadikan beras sebagai makanan primadona.