Sudah hampir dua pekan terakhir DPRD Kota Surabaya ribut soal bantuan sosial berupa biaya pendidikan bagi siswa miskin yang duduk di bangku SMA/SMK negeri. Wakil dari 3 juta rakyat Kota Surabaya ini ngotot, meminta Pemerintah Kota Surabaya agar mengalokasikan bantuan sosial itu ke Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah. Atas nama menolong rakyat miskin, anggota DPRD Kota Surabaya pun terus mencari celah dengan konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri serta pemerintah provinsi.
Wali rakyat pun semakin berusaha mencari celah hukum untuk merealisasikan keinginan untuk membantu siswa miskin. Padahal, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini secara tegas menolak memberikan bantuan sosial berupa biaya pendidikan kepada siswa SMA/SMK.
Alasan Risma, sejak Januari lalu pengelolaan dipegang Pemprov Jawa Timur. Alasannya, jika bantuan diberikan menggunakan APBD, justru menyalahi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. ”Saya tidak mau masuk penjara gara-gara memberikan bantuan kepada siswa miskin menggunakan APBD,” kata Risma dalam beberapa kesempatan.
Soal kekhawatiran siswa SMA/SMK yang kurang mampu bakal putus sekolah, itu sudah lama diperjuangkan oleh Pemkot Surabaya. Bahkan, sebelum diputuskan SMA/SMK dikelola pemprov, Pemkot Surabaya berusaha keras memperjuangkan agar pengelolaan SMA/SMK tetap di tangan pemkot. Artinya, siswa putus sekolah yang dihadang sejak awal itu kini menjadi kenyataan. Bahkan sejak dikelola pemprov, minat masuk SMK kian kecil karena alasan beragam biaya muncul terkait praktikum yang membutuhkan bahan baku, serta biaya lain.
Salah satu cara wali kota ingin tetap mengelola SMA/SMK dengan menjadi saksi pada sidang gugatan wali murid di Mahkamah Konstitusi. Warga mengajukan gugatan kepada MK terkait perkara pengujian UU No 23/2014 itu pada Maret 2016.
Perjuangan warga dan pemkot ketika itu sama sekali tak mendapat respons dari DPRD Kota Surabaya, yang lokasi gedungnya dengan balai kota hanya selemparan batu. ”Wali murid ketika itu menggunggat ke MK karena sejak 2010 biaya pendidikan di Kota Surabaya gratis,” kata Risma.
Bahkan, Risma sempat mengirim surat berisikan data siswa SMA/SMK di ”Kota Pahlawan” yang terancam putus sekolah kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya mempertahankan siswa SMA/SMK miskin tetap bisa sekolah.
Dalam surat bertanggal 31 Mei 2017, Risma menyampaikan, setelah alih kelola SMA dan SMK dari pemerintah kota/kabupaten ke pemerintah provinsi sejak awal 2017, paling tidak hingga Mei ada 120 warga memohon bantuan biaya pendidikan melalui surat kepada Risma. Dalam surat itu disampaikan keluhan tidak mampu bayar berbagai biaya pendidikan, bahkan ada yang sudah menunggak sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) sehingga kemungkinan besar rawan putus sekolah.
Menurut Risma, ratusan siswa terancam putus sekolah karena orangtuanya tidak mampu membayar biaya SPP SMA/SMK. Selain itu, sekitar 90 siswa sudah putus sekolah setelah alih kewenangan tersebut.
Alih kelola yang dimaksud sesuai UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang berlaku sejak awal 2017. Akibatnya, sejak pengelolaan SMA/SMK ditangani Pemprov Jawa Timur, biaya pendidikan SMA/SMK di Surabaya tidak lagi gratis. Kini, besaran biaya SPP SMA/SMK Rp 150.000-Rp 215.000 per bulan.
”Melalui surat kepada Presiden, semoga akan muncul kebijakan yang bisa menyelesaikan masalah ini (siswa putus sekolah), termasuk ada putusan dari MK yang diharapkan memberi kewenangan kepada Pemkot Surabaya untuk mengelola SMA/SMK. Siswa di Surabaya sudah sejak 2010 dari SD sampai SMA/SMK sekolah gratis,” ujar Risma. Apalagi judicial review yang diajukan itu mengandaskan keinginan Pemkot Surabaya untuk mengelola SMA/SMK pada Juli lalu.
Padahal, selama dikelola pemkot sejak 2010, semua biaya sekolah siswa SD, SMP, hingga SMA/SMK negeri di Kota Surabaya gratis. Bahkan, uang praktikum pelajar SMK, termasuk pembelian bahan, dan alat peraga ditanggung pemkot.
Maka, ketika muncul permintaan dari DPRD Kota Surabaya agar Pemkot Surabaya membantu siswa SMA/SMK yang tidak mampu membayar SPP, Risma sempat meminta pertimbangan dari ahli hukum, kejaksaan dan kepolisian. Permohonan untuk memberikan bantuan kepada siswa SMA/SMK kurang mampu merupakan dampak pengalihan pengelolaan pendidikan menengah dari pemkot ke pemprov sejak Januari lalu.
Dari hasil konsultasi itu, pemkot memang tidak bisa mengeluarkan uang untuk membantu siswa tersebut. ”Keinginan membantu tetap ada, tetapi pemkot ingin masalah hukum jelas sehingga kelak tidak bermasalah,” tutur Risma.
Sebelumnya, Ketua DPRD Surabaya Armuji mengusulkan agar Pemkot Surabaya mengalokasikan bantuan Rp 28 miliar untuk membantu biaya pendidikan sebanyak 11.824 siswa SMA/SMK. Bantuan dialokasikan di APBD Kota Surabaya 2018.
Menurut Asisten I Pemkot Surabaya Yayuk Eko Agustin, selama ini pemkot telah melakukan berbagai upaya untuk mencari solusi atas permasalahan ini, termasuk konsultasi ke pemerintah pusat dan bahkan sebelum disidangkan di MK. Pemkot juga sempat berkirim surat ke Pemprov Jatim pada 8 dan 22 Februari 2017. Kala itu, pemkot menyampaikan data sementara siswa SMA/SMK Kota Surabaya yang tidak mampu membayar SPP.
Oleh pemprov, surat tentang permohonan pembebasan biaya pendidikan dari sejumlah 55 siswa sesuai data usulan tersebut dijawab bahwa untuk SMA/SMK negeri pada prinsipnya menyiapkan diri untuk pembebasan biaya pendidikan, tetapi perlu dilakukan klarifikasi terlebih dahulu untuk memastikan kebenaran data. ”Intinya dijawab oleh provinsi akan dibantu. Kalau provinsi sanggup, ya sudah karena kewenangannya memang ada di provinsi,” ujar Yayuk.
Menanggapi sikap Risma, Wakil Gubenur Jatim Saifullah Yusuf mengatakan, silahkan saja pemerintah kabupaten/kota membantu biaya pendidikan siswa SMA/SMK yang tidak mampu. ”Tidak perlu mempersoalkan kewenangan pengelolaan. Tetapi harus melalui konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar tidak ada pihak yang dirugikan,” ujarnya.