CIREBON, KOMPAS – Seratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cirebon berunjuk rasa di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (13/11). Mereka menuntut upah minimum kabupaten pada 2018 sebesar Rp 3,2 juta, bukan Rp 1,8 juta yang telah direkomendasikan pemerintah daerah.
Sekretaris Koordinator Cabang FSPMI Cirebon Raya Moh Machbub mengatakan, UMK Cirebon pada 2018 yang diusulkan oleh Dewan Pengupahan setempat sebesar Rp 1,87 juta tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL) buruh. Jumlah tersebut hanya naik 8,7 persen atau sekitar Rp 150.000 dibandingkan UMK sebelumnya, sekitar Rp 1,72 juta.
“Selain harga sejumlah bahan pangan yang naik, subsidi listrik juga tahun ini dicabut. Uang sebesar Rp 100.000 yang biasanya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan hidup lainnya kini harus digunakan bayar listrik,” ujar Machbub.
Upah minimum yang sesuai dengan KHL buruh setempat ialah sebesar Rp 3,2 juta
Menurut FSPMI Cirebon, upah minimum yang sesuai dengan KHL buruh setempat ialah sebesar Rp 3,2 juta. Angka tersebut, lanjutnya, berasal dari survei KHL yang dilakukan tim independen pada Pasar Palimanan, Plered, dan Mundu.
“Kami bukannya tidak menghargai kenaikan UMK sebesar 8,7 persen. Kami juga tidak tamak. Mungkin pengusaha keberatan dengan usulan kami. Tetapi, ini lah kebutuhan riil buruh,” ujarnya.
Usulan tersebut coba disampaikan pada rapat pleno Dewan Pengupahan, yang didalamnya terdapat pekerja dan pengusaha, beberapa waktu lalu. Akan tetapi, menurut dia, aspirasi buruh itu tidak diakomodasi.
Untuk itu, Machbub mendesak Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon dan pengusaha untuk duduk bersama dan melakukan survei KHL untuk mengetahui kondisi buruh di lapangan. Hal ini berdasarkan Surat Menteri Tenaga Kerja pada 13 Oktober lalu yang berisi bagi daerah yang tiga tahun terakhir belum memenuhi KHL.
“Kabupaten Cirebon belum memenuhi ini. Makanya, dasar penetapan UMK ialah KHL, bukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan,” ujarnya.
Berdasarkan PP 78/2015, kenaikan UMP dan UMK sebesar 8,7 persen. Ini didasarkan angka inflasi nasional dua tahun terakhir, yakni 3,72 persen dan angka pertumbuhan ekonomi atau angka pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 4,99 persen.
Kadisnakertrans Kabupaten Cirebon Abdullah Subandi mengatakan, rencana kenaikan 8,7 persen sudah keputusan final Dewan Pengupahan Kabupaten Cirebon dengan mempertimbangkan PP 78/2015. “Kami hanya menjalankan aturan,” ucapnya.
Ia juga menampik anggapan bahwa pihaknya tidak menjalankan kenaikan UMK tahun 2015 sesuai KHL. Saat itu, lanjutnya, UMK Cirebon mencapai Rp 1,428 juta atau lebih tinggi dibandingkan KHL sebesar Rp 1,389 juta.
Meski demikian, kenaikan UMK Cirebon tahun 2018 lebih rendah dibandingkan tahun 2016 dan 2015. Pada 2015, misalnya, kenaikan UMK Cirebon mencapai Rp 215.250 dan pada 2016 meningkat hingga Rp 164.220.
Yang jelas, UMK Cirebon sudah di atas UMP Jabar sebesar Rp 1,5 juta
Menurut Abdullah, berdasarkan PP 78/2015, penentuan UMK tidak lagi berdasarkan KHL. Jadi, usulan buruh Cirebon agar UMK menjadi Rp 3,2 juta sulit terwujud. “Tetapi, kami akan tetap berkonsultasi dengan pemerintah pusat. Jumat ini kami berangkat,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah usulan buruh tersebut rasional untuk iklim usaha di Cirebon, Abdullah tidak dapat memberikan kepastian. “Yang jelas, UMK Cirebon sudah di atas UMP Jabar sebesar Rp 1,5 juta,” ujarnya.
Menurut dia, saat ini, investasi di Kabupaten Cirebon terus menggeliat semenjak kehadiran Jalan Tol Cikopo-Palimanan pertengahan 2015 lalu. Apalagi, Bandara Internasional Jabar rencananya beroperasi pertengahan tahun depan. Pelaku usaha pun, lanjutnya, semakin melirik Cirebon.
Secara terpisah, Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cirebon Dede Sudiono mengatakan, setahun terakhir pelaku usaha asal Jabodetabek semakin melirik Cirebon sebagai tujuan investasi. Salah satu faktornya ialah upah minimum yang terjangkau di Cirebon. Bandingkan dengan upah minimum di DKI Jakarta yang mencapai Rp 3,6 juta tahun depan.
Cirebon juga berpotensi jadi kawasan industri karena masih memiliki lahan yang luas. Saat ini, lahan untuk industri di pesisir utara itu baru seluas 2.000 hektar. Ketersedian lahan ini, lanjutnya, semakin sulit didapatkan di kawasan industri, seperti Kabupaten Karawang dan Jabodetabek yang kian padat.
Zona industri seluas 10.000 hektar pun telah disepakati Pemkab Cirebon dan DPRD setempat. Hal ini tercantum dalam revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon. “Saat ini, sekitar 10 perusahaan assal Jabodetabek menyatakan ketertarikannya berinvestasi di Cirebon,” ujarnya.
Machbub menilai, Pemda terkesan mengakomodasi pemilik modal dibandingkan menyejahterakan buruh. Berbeda dengan kenaikan UMK, nilai investasi di Cirebon justru terus meningkat.
Berdasarkan data DPMPTSP Kabupaten Cirebon, pada 2014, nilai investasi di Cirebon mencapai lebih dari 775 miliar dengan serapan 2.310 tenaga kerja. Investasi bahkan melonjak hingga Rp 12 triliun pada 2015. Hingga akhir Oktober 2017, nilai investasi di Cirebon mencapai Rp 824 miliar. Investasi itu didominasi industri pengolahan dan sektor perdagangan.
Di tengah hujan deras, massa aksi masih menyuarakan tuntutannya. Sesekali mereka bernyanyi dengan penggalan lirik, Hei Indonesiaku, hei Indonesiaku, tanah subur rakyat nganggur…